Mengapa Indonesia sangat susah maju?

Sabtu, 28 Desember 2013
Sejak lama kita berpikir, mencari tahu, diskusi, menggelar dialog, saling mendengar, dll. Untuk menjawab sebuah pertanyaan : “Mengapa bangsa Indonesia sangat susah maju?“  Berbagai teori politik, wacana, analisa media, sintesa pakar, berbagai kebijakan, institusi, UU, anggaran, strategi, dll sudah diterapkan, tetapi cita-cita kemajuan itu seakan semakin jauh dari harapan. Antara harapan dan kenyataan, terpaut jarak koneksi sangat jauh.
Sesuai fakta sejarah, Revolusi 1945 telah muncul untuk mengakhiri zaman kolonialisme Belanda; Revolusi 1966 telah muncul untuk mengakhiri zaman Orde Lama Soekarno; lalu Revolusi 1998 juga telah muncul untuk “memutus nafas” zaman Orde Baru Soeharto. (Kalau mau ditambahkan, “Revolusi Suporter Bola” 2011 berhasil mengakhiri orde Nurdin Halid di tubuh PSSI). Apakah setelah semua itu muncul, bangsa kita menjadi semakin baik, maju, adil, sejahtera, dan bermartabat? Faktanya, jauh panggang dari api.
Di atas semua ini lalu muncul aneka teori. “Ada yang salah dalam kehidupan bangsa kita,” kata sebagian pakar. “Indonesia punya apapun untuk maju. Hanya saja, bangsa kita ini salah urus,” kata pakar yang lain. “Kita begini karena bangsa kita kehilangan karakter. Maka sangat penting pendidikan karakter,” kata yang lain lagi. “Bangsa kita belum bisa berdemokrasi secara elegan,” kata pengamat politik. “Bangsa kita mudah melupakan catatan sejarah. Memorinya pendek,” kata sejarawan. “Akhir-akhir ini di tengah masyarakat sering muncul aksi-aksi kekerasan mengatas-namakan agama. Sikap toleransi kita semakin rapuh,” kata elit politik yang diklaim sebagai “guru bangsa”. “Semua ini merupakan dampak globalisasi dan kemajuan teknologi. Kita tidak siap menghadapi semua ini,” kata para pemerhati sosial. Sedangkan, media-media massa terus mengulang-ulang berbagai analisis di atas, hanya berbeda-beda edisinya saja.
Lalu sebenarnya masalah bangsa ini apa? Faktor-faktor yang membuatnya gagal, tidak maju, dan centang-perenang seperti saat ini apa?
Terlepas dari adanya perbedaan pandangan; terlepas dari analisis subyektif penulis; terlepas dari adanya kontradiksi satu analisis dengan analisis lainnya; terlepas apakah semua ini hanya wacana; terlepas dari aneka realitas politik praktis saat ini dan tarikan-tarikan ke arah itu; terlepas dari hal-hal lain yang belum dimasukkan dalam “aliena terlepas” ini; izinkan saya untuk menyampaikan faktor-faktor kemunduran bangsa Indonesia.
FAKTOR PERTAMA. Indonesia adalah bagian dari negara berkembang di Asia dan mayoritas penduduknya Muslim pula. Dalam sejarah manusia, sejak era awal peradaban sampai saat ini, kita tidak bisa melepaskan diri dari dikotomi “Negara Kuat Vs Negara Lemah”. Negara kuat akan selalu menjadi KOLONIALIS  (penjajah) dan IMPERIALIS  (membentuk imperium di bawah kekuasaannya). Sejak abad ke-16, bangsa-bangsa Barat (Eropa-Amerika) yang menjadi sosok Kolonialis-Imperialis itu. Kita sebagai bangsa Indonesia hanya menjadi “obyek penderita” untuk memuaskan kepentingan negara-negara Barat. Kekayaan negeri kita merupakan sasaran inti yang dibidik oleh negara-negara kolonialis/imperialis itu.
Bukan hanya Indonesia, tetapi negara-negara lemah di Asia, Afrika, Pasifik, dan Amerika Latin juga menjadi sasaran eksploitasi. Secara hakiki, penjajahan itu masih terus berlangsung, hanya bentuknya non perang. Ia adalah penjajahan ekonomi, politik, plus budaya. Pada negara-negara tertentu seperti Irak, Afghanistan, Palestina, Chechnya, dll. penjajahan melalui pola perang masih berjalan.
Lebih runyam lagi, selain bangsa Asia yang lemah, kita juga bangsa Muslim. Nah, dalam konteks ini, permusuhan bangsa-bangsa Barat (Eropa/Amerika) yang notabene mewakili wajah peradaban Kristiani, lebih hebat lagi. Awal kebencian Barat kepada negara-negara Muslim (termasuk Indonesia), ialah dari memori Kebangkitan Islam di Andalusia (Spanyol), Perang Salib dan Penaklukan Konstantinopel. Hal itu diperparah lagi dengan perlawanan pejuang-pejuang Islam di seluruh dunia, dalam perang mengusir para Kolonialis Eropa di Asia-Afrika. Inilah yang membuat bangsa Eropa-Amerika memiliki memori buruk tentang negeri-negeri Muslim.
Kita sebagai bangsa Asia dan sekaligus sebagai bangsa Muslim, merupakan dua alasan besar yang membuat negara-negara Barat bersikap: Tidak memberi toleransi sedikit pun bagi kemajuan banga Indonesia. Kalau Indonesia mau maju dengan alasan nasionalisme, hal itu akan membuat Barat kehilangan obyek jajahan ekonomi yang sangat besar. Kalau Indonesia mau maju dengan spirit Islam, maka kemarahan Barat akan semakin berkobar-kobar. Mereka segera membuka arsip-arsip sejarah seputar Andalusia, Perang Salib, Konstantinopel, dan perang anti kolonialisme.
Dalam realitas modern, banyak sekali penulis, ulama, para ahli, dan sejarawan yang membahas eksistensi ZIONISME sebagai kekuatan imperialis lain yang berlandaskan ideologi nasionalisme Yahudi. Zionisme ini juga tidak kalah ganasnya dibandingkan kekuatan kolonialisme/imperialisme Barat. Sebagai catatan, Perang Dunia I dan II, katanya diaransemen oleh jaringan Yahudi internasional. Krisis moneter tahun 1997 di Asia dan Indonesia, juga diaransemen mereka. Tragegi WTC 11 Sepember 2001, juga disebut-sebut dibangun oleh mereka. Kekuatan Zionisme disebut-sebut selalu berada di balik aneka krisis kehidupan, di tingkat nasional, regional, dan dunia.
Kalau Eropa/Amerika ingin membangun wajah imperialisme berbasis kepentingan kaum Kristiani, maka Zionisme ingin membentuk New World Order, berbasis ketundukan bangsa-bangsa dunia di bawah otoritas “bangsa pilihan Tuhan”, yaitu Yahudi. Saat mana suatu eksistensi menampak wajah sebagai kolonialisme Barat, dan saat mana sebagai Zionisme Yahudi; seringkali semua itu sulit dibedakan.
FAKTOR KEDUA. Bangsa Indonesia sulit maju, karena meyoritas rakyat Indonesia mengalami KEMISKINAN KOMPLEK. Ya miskin materi, miskin ilmu, miskin kesadaran, miskin kepercayaan diri, miskin inovasi, miskin militansi, miskin sifat kepahlawanan, sekaligus miskin keimanan.
Ada yang mengatakan, realitas kesmiskinan seperti di atas sengaja diciptakan. Pelakunya adalah elit-elit penguasa dan kalangan asing (kolonialis/imperialis). Elit penguasa ingin mempertahankan dominasi politiknya, sedangkan kalangan asing ingin mempertahankan praktik eksploitasinya. Seringkali, bangsa-bangsa asing menggunakan instrumen lembaga-lembaga internasional, untuk mempertahankan situasi kemiskinan komplek itu. Masih ingat bagaimana rekayasa IMF saat Krisis Ekonomi 1997? Masih ingat juga Bank Dunia yang menyelamatkan Sri Mulyani dari kasus Bank Century? Dan masih ingat konfrontasi antara Dr. Fadhilah Supari dengan WHO dalam soal sample virus Flu Burung? Ya, begitu deh.
Bahkan eksistensi TV-TV hiburan selama ini di Indonesia, juga dalam rangka mempertahankan kemiskinan ini. Masyarakat terus dibombardir dengan tontonan, hiburan, dan amoralitas agar tidak sadar tentang kenyataan hidup yang ada di sekitarnya. “Kemana…kemana… Goyang terus, Bang! Terus goyang, lupakan kehidupan!” Begitulah kredo para pengelola TV hiburan itu. Rokok juga termasuk instrumen pemiskin masyarakat. Kalau tak percaya, coba tanyakan kepada Aliansi Masyarakat Anti Tembakau. Pornografi, fanatisme suporter bola, narkoba, dll. juga termasuk bagian itu.
Dengan realitas kemiskinan komplek ini, masyarakat sulit sekali untuk DIAJAK BERUBAH. Ide, gagasan, program sehebat apapun, kebanyakan hanya menjadi wacana. Sudah beribu-ribu ide berhamburan di sekitar kita, namun dengan kemiskinan seperti itu, sulit mengupayakan perbaikan. Banyak masyarakat kita tidak paham ide-ide positif.  Kalau paham, mereka tak ada rasa percaya diri untuk melaksanan ide itu. Kalau ada percaya diri, mereka tidak punya uang membiayai ide itu. Kalau punya uang, mereka tak berani menghadapi penolakan dari sistem. Kalau mereka berani, umumnya jalan sendiri-sendiri dan tidak istiqamah. Jika demikian, lalu kapan perubahan itu bisa dilakukan?
Hakikat perubahan di Indonesia akan terjadi, jika didukung mayoritas masyarakat. Tetapi kesenjangan (gap) antara kalangan terdidik dengan mayoritas masyarakat, sangat lebar. Hal ini membuat bangsa Indonesia susah maju, sebab “mesin-mesin perubahan” itu jalan di tempat.
Kalau kita sekedar berwacana, berteori, mendengar penuturan kisah, atau berheha hehe seperti acara Kick Andy itu, sangat mungkin dilakukan. Tetapi untuk mencetuskan geradakan kebangkitan bersama dalam tingkat nasional, masya Allah… sangat sulit sekali. (Bukan pesimis ya, tetapi realitasnya memang begitu).
Catatan: Akibat kemiskinan komplek ini, dan kuatnya hegemoni negara-negara Imperialis Barat dan Zionisme Yahudi; maka di Indonesia sangat banyak bermunculan manusia-manusia sejenis antek/jongos asing. Orang-orang ini jumlahnya banyak, klubnya juga macam-macam. Jendral Ryamizard Ryachudu pernah mengatakan, di Indonesia setidaknya ada 50.000 antek asing. Bahkan sosok seperti Adam Malik pun disinyalir sebagai agen asing (CIA). Dan ternyata, dalam sejarah nasional, sejak era penjajahan dulu, banyak manusia-manusia bertipe antek itu. Bahkan soal keantekan ini bisa saling “diwariskan” ke anak-cucunya. Mengapa mereka menjadi antek? Ya, karena tidak mau hidup susah, dan lebih rela menjadi jongos penjajah, demi keuntungan dunia yang kecil. Meskipun resikonya, urusan bangsa dan negara dikorbankan. “Kagak ape-ape mengorbankan rakyat, bangsa dan negara. Yang penting kite bisa seneng-seneng, ikut orang asing. Soal dosa neraka, biarin aje deh,” begitu dasar pikiran kusut yang selalu mereka anut. Padahal sebenarnya, hidup mereka juga tidak enak-enak amat. Jadi antek itu seperti orang yang terima cek dengan tulisan jumlah uang besar, tetapi dia tak bisa menikmati uang itu sedikit pun, karena telah musnah berkahnya. Kalau para antek itu diperbolehkan, tentu mereka akan menjerit sehisteris-histerisnya, karena hidup mereka penuh susah dan penderitaan, akibat pengkhianatan.
FAKTOR KETIGA. Secara sosiologis, kultur, dan sejarah, bangsa Indonesia itu amat sangat MAJEMUK. Kata orang, semua itu merupakan kekayaan nasional yang nilainya tak terkirakan. Tetapi harus juga diingat, ia adalah sumber konflik yang tak ada habis-habisnya. Kalau kita mau jujur, perpecahan yang ada dalam tubuh bangsa Indonesia ini, sebagian besar bersumber dari KEMAJEMUKAN bangsa ini sendiri.
Apa yang saya katakan ini pasti akan ditentang oleh banyak orang. Khususnya mereka yang selama ini sangat menjunjung-tinggi prinsip “Bhineka Tunggal Ika”. Mereka percaya bahwa kita bisa bersatu, lahir-batin, luar-dalam. Kalau ditanya, apa yang bisa menyatukan kita secara lahir-batin? Mereka jawab, ya Pancasila itu sendiri. Kemmudian kita tanya lagi, bagian mana dari Pancasila yang bisa menyatukan kita? Mereka jawab, semuanya. Terutama sila “Persatuan Indonesia”. Lalu kita kunci pertanyaan ini, “Kalau memang Pancasila sedemikian hebat, mengapa di negeri kita terdapat sangat banyak perpecahan, baik di bidang politik, ideologi, kepentingan ekonomi, sosial, budaya, bahkan dalam urusan ibadah? Padahal selama ini bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila?”
Andaikan mayoritas rakyat Indonesia bukan Muslim, saya yakin bangsa Nusantara ini sudah berpecah-belah sejak lama. Di negara Afrika, Asia, juga Eropa, meskipun mereka memiliki agama yang sama (maksudnya, non Islam), mereka tetap berpecah-belah. Contoh paling mudah, ialah konflik politik di Spanyol antara Pemerintah Spanyol (berpusat di Madrid) dengan kawasan Catalonia. Para pengamat sepakbola pun tahu hal itu. Padahal mereka sama-sama menganut ajaran Katholik.
Sejujurnya, kemajemukan itu merupakan sumber kekuatan dan inspirasi, JIKA masing-masing mendapat porsi hak dan kewajiban secara adil. Mereka memiliki kepentingan yang sama untuk maju secara kolektif. Tetapi realitasnya, mewujudkan hal itu tidaklah mudah. Kalau hanya berbusa-busa mulut, “Mari tingkatkan persatuan, mari kita galang kebersamaan, mari saling bergandeng tangan, abaikan perbedaan!” Kalau cuma basa-basi…mudah dilakukan. Tetapi hakikat persatuan lahir-batin itu amat sulit diwujudkan, tanpa pertolongan Allah Ta’ala.
Kalau tak percaya, baca terjemah ayat berikut: “Dan (Allah) menyatukan hati-hati mereka. Andai kamu belanjakan semua harta yang ada di bumi, niscaya kamu tak akan bisa menyatukan hati-hati mereka. Akan tetapi Allah-lah yang menyatukan mereka, sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Surat Al Anfaal: 63).
Realitas kemajemukan bangsa Indonesia ini SANGAT RAWAN dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan politik tertentu. Dengan sangat mudah dilakukan adu-domba untuk memecah-belah masyarakat. Modus seperti itu dulu dipakai NICA (Belanda) untuk membuat negara-negara boneka berdasarkan kesukuan. Ada negara Jawa, negara Sunda, negara Sumatera, negara Bali, negara Maluku, dll. Di zaman Orde Baru dan pasca Reformasi juga ada Kerusuhan Banyuwangi, Situbondo, Tasikmalaya, Kupang, Kerusuhan Ambon, Maluku Utara, Sampit, Sambas, Poso, konflik di Papua, dll.
Jangan jauh-jauh yang seperti itu, antar Fakultas Pertanian dan Fakultas Teknik Unhas Makassar saja, sudah seperti jadi “menu tahunan”. Tawuran pelajar di Jakarta, tawuran suporter bola antara Bonek dan Aremania, antara The Jak dan Bobotoh Persib, dll. Bahkan di Gedung DPR pun ada dorong-dorongan antar para wakil rakyat. Antar para advokad juga ada konflik, antar para wartawan, antar media massa, dll.
Konflik yang terus-menerus ini, tidak ada ujungnya itu, jelas dampaknya sangat MEMAYAHKAN bangsa ini sendiri. Kapan kita membangun dan maju, kalau agenda konflik jalan terus? Sudah energi habis, korban banyak, kerusakan hebat, rasa dendam dan permusuhan semakin membuncah. Quo vadis Indonesia…hendak kemana lagi Anda, wahai Indonesia?
Ya begitulah, kemajemukan semata, tanpa didasari ikatan keimanan, akan membuat bangsa ini terus bertengkar, tak ada akhirnya.
FAKTOR KEEMPAT. Faktor lain yang membuat bangsa ini susah maju, ialah perpecahan kronis yang terjadi di tubuh Ummat Islam sendiri. Mengapa kita bicara Ummat Islam? Sebab Ummat Islam adalah komponen terbesar bangsa ini, yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Berbicara tentang Indonesia dalam kacamata nasionalismean sich (murni), adalah nonsense belaka. Semua itu hanya omong kosong, tidak ada relevansinya. Mau tidak mau, suka tidak suka, kala bicara tentang Indonesia, kita harus bicara Ummat Islam. Sama saja, kalau bicara tentang Italia, harus menyinggung komunitas Katholik; bicara tentang Singapura, harus bicara etnis China; atau bicara tentang India, harus melihat posisi kaum  Hindu.
Sebenarnya, kalau Ummat Islam di Indonesia bisa diperbaiki keadaannya, hal itu akan sangat baik akibatnya bagi kemajuan Indonesia. Sebab yang mayoritas mengisi lini-lini kehidupan, baik politik, ekonomi, sosial, birokrasi, militer, dll. adalah Ummat Islam itu sendiri. Namun selama ini yang terjadi, Ummat Islam di Indonesia terpecah-belah dalam fraksi dan friksi yang sangat banyak. Padahal jika Ummat Islam memiliki pandangan, sikap, kepedulian, prioritas, serta agenda bersama; masya Allah, mayoritas urusan negeri ini bisa diperbaiki sebaik-baiknya.
Argumentasinya, komposisi Muslim Melayu di Malaysia sekitar 50-60 %. Namun karena mereka mampu menyatukan visi, pandangan, dan agenda bersama; mereka bisa maju. Padahal dari sisi jumlah penduduk, nilai kekayaan alam, luas wilayah, semangat kerja keras; kita lebih unggul dari Malaysia. Nah itulah, potensi terbatas jika rakyatnya bersatu, mereka bisa maju. Sebaliknya, meskipun potensi lur biasa, kalau rakyatnya (baca: Ummat Islam) susah bersatu, ya tak akan maju-maju.
Kemunduran bangsa Indonesia, sebenarnya juga merupakan kritik terbuka bagi Ummat Islam. Andai kita bisa bersatu, tentu kaum Muslimin akan bersatu; lalu bangsa Indonesia pun insya Allah akan semakin maju.
FAKTOR KELIMA. Faktor ini bisa dianggap memiliki koneksi kuat dengan faktor-faktor sebelumnya. Ia adalah KEPEMIMPINAN (leadership). Sejujurnya, bangsa Indonesia telah sekian lama mengalami krisis kepemimpinan. Sulit sekali lahir pemimpin-pemimpin unik yang bisa menjadi nahkoda terbaik, untuk memimpin kapal layar bangsa Indonesia melaju di lautan kehidupan.
Begitu sulitnya menanti pemimpin hebat itu, hingga selama ini masyarakat memimpikan sosok “Ratu Adil”. Ada juga yang menyebut istilah “Satrio Piningit” (sosok kesatria yang masih tersembunyi). Bahkan di kalangan Islam, sudah lama menantikan sosok Imam Mahdi. Semua ini merupakan letupan asa, cinta, dan obsesi akan hadirnya sosok pemimpin “Sapu Jagad” yang diberkahi dan dibantu oleh Allah untuk membereskan masalah-masalah bangsa ini.
Sosok pemimpin itu haruslah sehat fisik dan berpengetahuan luas, seperti sosok Thalut yang Allah datangkan untuk membereskan masalah Bani Israil. Ia juga elok, amanah, konsisten; seperti sosok Yusuf Alaihissalam, ketika Allah turunkan untuk membereskan masalah bangsa Mesir. Selain itu, ia adalah politisi ulung, konsisten dengan keadilan, ahli kemiliteran, memiliki jiwa kokoh, dan tidak gila dunia; seperti sosok Khalifah Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘Anhu.
Minimal, dalam konteks keindonesiaan dan kekontemporeran, kita membutuhkan karakter pemimpin yang: bersikap adil, pengasih kepada masyarakat kecil, ahli kemiliteran, politisi ulung, tidak gila dunia, dan berani mati demi membangun kemaslahatan. Namun adakah sosok pemimpin seperti itu? Wallahu a’lam bisshawaab.
Ya, kalau yang dinamakan pemimpin itu, cirinya sebagai berikut: Banyak omong di media. Plin plan. Suka kongkow di kafe-kafe, sambil merokok dan minum anggur putih. Gila jabatan, plus gila publikasi. Merasa ringan dengan menipu rakyat. Aktif berburu proyek-proyek negara. Sangat bahagia digaji besar, serta membangun style konsumsi elitik. Terus menuntut kenaikan gaji dan tunjangan. Kalau tersangkut kasus hukum, sering bicara “saya tidak tahu” atau “itu bukan tanggung-jawab saya”.Tidak risih bergaul dengan selebritis dan artis-artis. Dan lain-lain gambaran semodel itu. Maka yang semodel beginiini bukan tipe pemimpin, tetapi “sampah kehidupan”.
Jika ada pemimpin yang KUAT, KOKOH, SHALIH, dan KONSISTEN; niscaya kehidupan bangsa ini akan berubah. Dia akan memimpin bangsa ini menghadapi tantangan-tantangan berat, dari dalam maupun luar negeri. Hanya saja, dimana pemimpin itu berada, adakah dia, dan kapan munculnya? Hanya Allah Ta’ala yang tahu.
Pemimpin-pemimpin yang ada selama ini jauh dari karakter seperti itu, sejak era Soekarno, Soeharto, Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, hingga era SBY saat ini. Dengan model kepemimpinan demikian, sulit berharap bangsa Indonesia akan maju dan bermartabat.
Bagi para pemimpin atau calon pemimpin Indonesia, Anda harus memahami kenyataan-kenyataan berikut ini:
[1]. Posisi kepemimpinan itu sangat penting bagi ummat manusia, khususnya bagi bangsa Indonesia.
[2]. Bahwa praktik penjajahan bangsa-bangsa besar ke bangsa-bangsa kecil/lemah, tidak pernah lenyap, hanya berubah bentuk dan modus saja. Selama di dunia ada dikotomi negara besar vs negara kecil, selama itu praktik kolonialisme akan terus lestari.
[3]. Indonesia sangat komplek dengan segala ciri kemajemukannya. Setiap pemimpin harus pintar-pintar mengatur segala kemajemukan itu, dan jauhkan segala bentuk kezhaliman. Kalau tirani mayoritas bisa dianggap kezhaliman, bagaimana jika muncul tirani minoritas? Pintu-pintu perpecahan dan adu-domba harus ditutup rapat.
[4]. Harus diakui secara gentle dan rendah hati, bahwa mayoritas rakyat Indonesia adalah Muslim; secara hakiki, negeri ini adalah negeri Muslim. Maka membangun Indonesia dengan mengabaikan kaum Muslimin, adalah nonsense. Hal itu seperti membangun India dengan melupakan orang Hindu, atau membangun Malaysia dengan melupakan warga Melayu.
[5]. Seorang pemimpin harus sehat fisik, luas wawasan, berjiwa kuat, pemberani, bersikap adil (kepada rakyat dan keluarganya), ahli kemiliteran, bukan orang miskin yang mencari pekerjaan/kekayaan, serta memiliki kekuatan spiritual (IMAN) yang kokoh.
SOLUSI. Jika kita telah memahami masalah ini, perlu memikirkan solusi ke depan. Dalam konteks nasionalisme, gagasan Prabowo Subianto dan Gerindra layak dicermati. Tetapi, ia baru setahap gagasan yang belum terbukti di lapangan. Sering terjadi, nasionalisme itu ujung-ujungnya berbelok arah ke kutub Komunisme (seperti zaman Soekarno) atau ke kutub Kapitalisme (seperti zaman Soeharto); bahkan ke kutub Zionisme (seperti zaman Abdurrahman Wahid). Andaikan ada konsep nasionalisme yang konsisten, tetap saja bangsa kita harus menghadapi Imperialis Barat dan Yahudi yang sangat anti dengan kemandirian sebuah bangsa nasionalis.
Idealnya, Pemerintah Indonesia memberi hak-hak otonom ke daerah untuk melaksanakan hukum-hukum Syariat Islam di wilayah-wilayahmayoritas Muslim. Sedangkan di wilayah minoritas Muslim, persilakan mereka untuk berembuk menentukan hukum kolektif di wilayah itu. Pemberlakuan hukum-hukum Islam ini sangat efektif untuk menghadapi hegemoni Imperialis, kemajemukan kultural, dan penyakit korupsi. Kalau kemudian ada yang bersuara lantang menolak ide seperti itu, bisa jadi karena mereka tidak tahu, atau mereka orang suruhan para konglomerat yang sudah adem-ayem hidup makmur di atas segala penderitaan rakyat, atau mereka antek asing yang memang bekerja dalam ranah keantekan, atau mereka adalah siapa saja yang dalam hatinya tertanam kebencian kepada Islam.
Secara pribadi, maka solusi yang diminta ialah seperti sabda Nabi Shallallah ‘Alaihi Wasallam, “Qul amantu billahi, tsumma istaqimu” (Katakanlah, aku beriman kepada Allah, lalu istiqamahlah). Jalani ajaran Islam secara istiqamah, termasuk amalan-amalan yang dianggap ringan, sebab semua itu merupakan kunci eksistensikehidupan kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar