Mengapa Indonesia sangat susah maju?

Sabtu, 28 Desember 2013
Sejak lama kita berpikir, mencari tahu, diskusi, menggelar dialog, saling mendengar, dll. Untuk menjawab sebuah pertanyaan : “Mengapa bangsa Indonesia sangat susah maju?“  Berbagai teori politik, wacana, analisa media, sintesa pakar, berbagai kebijakan, institusi, UU, anggaran, strategi, dll sudah diterapkan, tetapi cita-cita kemajuan itu seakan semakin jauh dari harapan. Antara harapan dan kenyataan, terpaut jarak koneksi sangat jauh.
Sesuai fakta sejarah, Revolusi 1945 telah muncul untuk mengakhiri zaman kolonialisme Belanda; Revolusi 1966 telah muncul untuk mengakhiri zaman Orde Lama Soekarno; lalu Revolusi 1998 juga telah muncul untuk “memutus nafas” zaman Orde Baru Soeharto. (Kalau mau ditambahkan, “Revolusi Suporter Bola” 2011 berhasil mengakhiri orde Nurdin Halid di tubuh PSSI). Apakah setelah semua itu muncul, bangsa kita menjadi semakin baik, maju, adil, sejahtera, dan bermartabat? Faktanya, jauh panggang dari api.
Di atas semua ini lalu muncul aneka teori. “Ada yang salah dalam kehidupan bangsa kita,” kata sebagian pakar. “Indonesia punya apapun untuk maju. Hanya saja, bangsa kita ini salah urus,” kata pakar yang lain. “Kita begini karena bangsa kita kehilangan karakter. Maka sangat penting pendidikan karakter,” kata yang lain lagi. “Bangsa kita belum bisa berdemokrasi secara elegan,” kata pengamat politik. “Bangsa kita mudah melupakan catatan sejarah. Memorinya pendek,” kata sejarawan. “Akhir-akhir ini di tengah masyarakat sering muncul aksi-aksi kekerasan mengatas-namakan agama. Sikap toleransi kita semakin rapuh,” kata elit politik yang diklaim sebagai “guru bangsa”. “Semua ini merupakan dampak globalisasi dan kemajuan teknologi. Kita tidak siap menghadapi semua ini,” kata para pemerhati sosial. Sedangkan, media-media massa terus mengulang-ulang berbagai analisis di atas, hanya berbeda-beda edisinya saja.
Lalu sebenarnya masalah bangsa ini apa? Faktor-faktor yang membuatnya gagal, tidak maju, dan centang-perenang seperti saat ini apa?
Terlepas dari adanya perbedaan pandangan; terlepas dari analisis subyektif penulis; terlepas dari adanya kontradiksi satu analisis dengan analisis lainnya; terlepas apakah semua ini hanya wacana; terlepas dari aneka realitas politik praktis saat ini dan tarikan-tarikan ke arah itu; terlepas dari hal-hal lain yang belum dimasukkan dalam “aliena terlepas” ini; izinkan saya untuk menyampaikan faktor-faktor kemunduran bangsa Indonesia.
FAKTOR PERTAMA. Indonesia adalah bagian dari negara berkembang di Asia dan mayoritas penduduknya Muslim pula. Dalam sejarah manusia, sejak era awal peradaban sampai saat ini, kita tidak bisa melepaskan diri dari dikotomi “Negara Kuat Vs Negara Lemah”. Negara kuat akan selalu menjadi KOLONIALIS  (penjajah) dan IMPERIALIS  (membentuk imperium di bawah kekuasaannya). Sejak abad ke-16, bangsa-bangsa Barat (Eropa-Amerika) yang menjadi sosok Kolonialis-Imperialis itu. Kita sebagai bangsa Indonesia hanya menjadi “obyek penderita” untuk memuaskan kepentingan negara-negara Barat. Kekayaan negeri kita merupakan sasaran inti yang dibidik oleh negara-negara kolonialis/imperialis itu.
Bukan hanya Indonesia, tetapi negara-negara lemah di Asia, Afrika, Pasifik, dan Amerika Latin juga menjadi sasaran eksploitasi. Secara hakiki, penjajahan itu masih terus berlangsung, hanya bentuknya non perang. Ia adalah penjajahan ekonomi, politik, plus budaya. Pada negara-negara tertentu seperti Irak, Afghanistan, Palestina, Chechnya, dll. penjajahan melalui pola perang masih berjalan.
Lebih runyam lagi, selain bangsa Asia yang lemah, kita juga bangsa Muslim. Nah, dalam konteks ini, permusuhan bangsa-bangsa Barat (Eropa/Amerika) yang notabene mewakili wajah peradaban Kristiani, lebih hebat lagi. Awal kebencian Barat kepada negara-negara Muslim (termasuk Indonesia), ialah dari memori Kebangkitan Islam di Andalusia (Spanyol), Perang Salib dan Penaklukan Konstantinopel. Hal itu diperparah lagi dengan perlawanan pejuang-pejuang Islam di seluruh dunia, dalam perang mengusir para Kolonialis Eropa di Asia-Afrika. Inilah yang membuat bangsa Eropa-Amerika memiliki memori buruk tentang negeri-negeri Muslim.
Kita sebagai bangsa Asia dan sekaligus sebagai bangsa Muslim, merupakan dua alasan besar yang membuat negara-negara Barat bersikap: Tidak memberi toleransi sedikit pun bagi kemajuan banga Indonesia. Kalau Indonesia mau maju dengan alasan nasionalisme, hal itu akan membuat Barat kehilangan obyek jajahan ekonomi yang sangat besar. Kalau Indonesia mau maju dengan spirit Islam, maka kemarahan Barat akan semakin berkobar-kobar. Mereka segera membuka arsip-arsip sejarah seputar Andalusia, Perang Salib, Konstantinopel, dan perang anti kolonialisme.
Dalam realitas modern, banyak sekali penulis, ulama, para ahli, dan sejarawan yang membahas eksistensi ZIONISME sebagai kekuatan imperialis lain yang berlandaskan ideologi nasionalisme Yahudi. Zionisme ini juga tidak kalah ganasnya dibandingkan kekuatan kolonialisme/imperialisme Barat. Sebagai catatan, Perang Dunia I dan II, katanya diaransemen oleh jaringan Yahudi internasional. Krisis moneter tahun 1997 di Asia dan Indonesia, juga diaransemen mereka. Tragegi WTC 11 Sepember 2001, juga disebut-sebut dibangun oleh mereka. Kekuatan Zionisme disebut-sebut selalu berada di balik aneka krisis kehidupan, di tingkat nasional, regional, dan dunia.
Kalau Eropa/Amerika ingin membangun wajah imperialisme berbasis kepentingan kaum Kristiani, maka Zionisme ingin membentuk New World Order, berbasis ketundukan bangsa-bangsa dunia di bawah otoritas “bangsa pilihan Tuhan”, yaitu Yahudi. Saat mana suatu eksistensi menampak wajah sebagai kolonialisme Barat, dan saat mana sebagai Zionisme Yahudi; seringkali semua itu sulit dibedakan.
FAKTOR KEDUA. Bangsa Indonesia sulit maju, karena meyoritas rakyat Indonesia mengalami KEMISKINAN KOMPLEK. Ya miskin materi, miskin ilmu, miskin kesadaran, miskin kepercayaan diri, miskin inovasi, miskin militansi, miskin sifat kepahlawanan, sekaligus miskin keimanan.
Ada yang mengatakan, realitas kesmiskinan seperti di atas sengaja diciptakan. Pelakunya adalah elit-elit penguasa dan kalangan asing (kolonialis/imperialis). Elit penguasa ingin mempertahankan dominasi politiknya, sedangkan kalangan asing ingin mempertahankan praktik eksploitasinya. Seringkali, bangsa-bangsa asing menggunakan instrumen lembaga-lembaga internasional, untuk mempertahankan situasi kemiskinan komplek itu. Masih ingat bagaimana rekayasa IMF saat Krisis Ekonomi 1997? Masih ingat juga Bank Dunia yang menyelamatkan Sri Mulyani dari kasus Bank Century? Dan masih ingat konfrontasi antara Dr. Fadhilah Supari dengan WHO dalam soal sample virus Flu Burung? Ya, begitu deh.
Bahkan eksistensi TV-TV hiburan selama ini di Indonesia, juga dalam rangka mempertahankan kemiskinan ini. Masyarakat terus dibombardir dengan tontonan, hiburan, dan amoralitas agar tidak sadar tentang kenyataan hidup yang ada di sekitarnya. “Kemana…kemana… Goyang terus, Bang! Terus goyang, lupakan kehidupan!” Begitulah kredo para pengelola TV hiburan itu. Rokok juga termasuk instrumen pemiskin masyarakat. Kalau tak percaya, coba tanyakan kepada Aliansi Masyarakat Anti Tembakau. Pornografi, fanatisme suporter bola, narkoba, dll. juga termasuk bagian itu.
Dengan realitas kemiskinan komplek ini, masyarakat sulit sekali untuk DIAJAK BERUBAH. Ide, gagasan, program sehebat apapun, kebanyakan hanya menjadi wacana. Sudah beribu-ribu ide berhamburan di sekitar kita, namun dengan kemiskinan seperti itu, sulit mengupayakan perbaikan. Banyak masyarakat kita tidak paham ide-ide positif.  Kalau paham, mereka tak ada rasa percaya diri untuk melaksanan ide itu. Kalau ada percaya diri, mereka tidak punya uang membiayai ide itu. Kalau punya uang, mereka tak berani menghadapi penolakan dari sistem. Kalau mereka berani, umumnya jalan sendiri-sendiri dan tidak istiqamah. Jika demikian, lalu kapan perubahan itu bisa dilakukan?
Hakikat perubahan di Indonesia akan terjadi, jika didukung mayoritas masyarakat. Tetapi kesenjangan (gap) antara kalangan terdidik dengan mayoritas masyarakat, sangat lebar. Hal ini membuat bangsa Indonesia susah maju, sebab “mesin-mesin perubahan” itu jalan di tempat.
Kalau kita sekedar berwacana, berteori, mendengar penuturan kisah, atau berheha hehe seperti acara Kick Andy itu, sangat mungkin dilakukan. Tetapi untuk mencetuskan geradakan kebangkitan bersama dalam tingkat nasional, masya Allah… sangat sulit sekali. (Bukan pesimis ya, tetapi realitasnya memang begitu).
Catatan: Akibat kemiskinan komplek ini, dan kuatnya hegemoni negara-negara Imperialis Barat dan Zionisme Yahudi; maka di Indonesia sangat banyak bermunculan manusia-manusia sejenis antek/jongos asing. Orang-orang ini jumlahnya banyak, klubnya juga macam-macam. Jendral Ryamizard Ryachudu pernah mengatakan, di Indonesia setidaknya ada 50.000 antek asing. Bahkan sosok seperti Adam Malik pun disinyalir sebagai agen asing (CIA). Dan ternyata, dalam sejarah nasional, sejak era penjajahan dulu, banyak manusia-manusia bertipe antek itu. Bahkan soal keantekan ini bisa saling “diwariskan” ke anak-cucunya. Mengapa mereka menjadi antek? Ya, karena tidak mau hidup susah, dan lebih rela menjadi jongos penjajah, demi keuntungan dunia yang kecil. Meskipun resikonya, urusan bangsa dan negara dikorbankan. “Kagak ape-ape mengorbankan rakyat, bangsa dan negara. Yang penting kite bisa seneng-seneng, ikut orang asing. Soal dosa neraka, biarin aje deh,” begitu dasar pikiran kusut yang selalu mereka anut. Padahal sebenarnya, hidup mereka juga tidak enak-enak amat. Jadi antek itu seperti orang yang terima cek dengan tulisan jumlah uang besar, tetapi dia tak bisa menikmati uang itu sedikit pun, karena telah musnah berkahnya. Kalau para antek itu diperbolehkan, tentu mereka akan menjerit sehisteris-histerisnya, karena hidup mereka penuh susah dan penderitaan, akibat pengkhianatan.
FAKTOR KETIGA. Secara sosiologis, kultur, dan sejarah, bangsa Indonesia itu amat sangat MAJEMUK. Kata orang, semua itu merupakan kekayaan nasional yang nilainya tak terkirakan. Tetapi harus juga diingat, ia adalah sumber konflik yang tak ada habis-habisnya. Kalau kita mau jujur, perpecahan yang ada dalam tubuh bangsa Indonesia ini, sebagian besar bersumber dari KEMAJEMUKAN bangsa ini sendiri.
Apa yang saya katakan ini pasti akan ditentang oleh banyak orang. Khususnya mereka yang selama ini sangat menjunjung-tinggi prinsip “Bhineka Tunggal Ika”. Mereka percaya bahwa kita bisa bersatu, lahir-batin, luar-dalam. Kalau ditanya, apa yang bisa menyatukan kita secara lahir-batin? Mereka jawab, ya Pancasila itu sendiri. Kemmudian kita tanya lagi, bagian mana dari Pancasila yang bisa menyatukan kita? Mereka jawab, semuanya. Terutama sila “Persatuan Indonesia”. Lalu kita kunci pertanyaan ini, “Kalau memang Pancasila sedemikian hebat, mengapa di negeri kita terdapat sangat banyak perpecahan, baik di bidang politik, ideologi, kepentingan ekonomi, sosial, budaya, bahkan dalam urusan ibadah? Padahal selama ini bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila?”
Andaikan mayoritas rakyat Indonesia bukan Muslim, saya yakin bangsa Nusantara ini sudah berpecah-belah sejak lama. Di negara Afrika, Asia, juga Eropa, meskipun mereka memiliki agama yang sama (maksudnya, non Islam), mereka tetap berpecah-belah. Contoh paling mudah, ialah konflik politik di Spanyol antara Pemerintah Spanyol (berpusat di Madrid) dengan kawasan Catalonia. Para pengamat sepakbola pun tahu hal itu. Padahal mereka sama-sama menganut ajaran Katholik.
Sejujurnya, kemajemukan itu merupakan sumber kekuatan dan inspirasi, JIKA masing-masing mendapat porsi hak dan kewajiban secara adil. Mereka memiliki kepentingan yang sama untuk maju secara kolektif. Tetapi realitasnya, mewujudkan hal itu tidaklah mudah. Kalau hanya berbusa-busa mulut, “Mari tingkatkan persatuan, mari kita galang kebersamaan, mari saling bergandeng tangan, abaikan perbedaan!” Kalau cuma basa-basi…mudah dilakukan. Tetapi hakikat persatuan lahir-batin itu amat sulit diwujudkan, tanpa pertolongan Allah Ta’ala.
Kalau tak percaya, baca terjemah ayat berikut: “Dan (Allah) menyatukan hati-hati mereka. Andai kamu belanjakan semua harta yang ada di bumi, niscaya kamu tak akan bisa menyatukan hati-hati mereka. Akan tetapi Allah-lah yang menyatukan mereka, sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Surat Al Anfaal: 63).
Realitas kemajemukan bangsa Indonesia ini SANGAT RAWAN dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan politik tertentu. Dengan sangat mudah dilakukan adu-domba untuk memecah-belah masyarakat. Modus seperti itu dulu dipakai NICA (Belanda) untuk membuat negara-negara boneka berdasarkan kesukuan. Ada negara Jawa, negara Sunda, negara Sumatera, negara Bali, negara Maluku, dll. Di zaman Orde Baru dan pasca Reformasi juga ada Kerusuhan Banyuwangi, Situbondo, Tasikmalaya, Kupang, Kerusuhan Ambon, Maluku Utara, Sampit, Sambas, Poso, konflik di Papua, dll.
Jangan jauh-jauh yang seperti itu, antar Fakultas Pertanian dan Fakultas Teknik Unhas Makassar saja, sudah seperti jadi “menu tahunan”. Tawuran pelajar di Jakarta, tawuran suporter bola antara Bonek dan Aremania, antara The Jak dan Bobotoh Persib, dll. Bahkan di Gedung DPR pun ada dorong-dorongan antar para wakil rakyat. Antar para advokad juga ada konflik, antar para wartawan, antar media massa, dll.
Konflik yang terus-menerus ini, tidak ada ujungnya itu, jelas dampaknya sangat MEMAYAHKAN bangsa ini sendiri. Kapan kita membangun dan maju, kalau agenda konflik jalan terus? Sudah energi habis, korban banyak, kerusakan hebat, rasa dendam dan permusuhan semakin membuncah. Quo vadis Indonesia…hendak kemana lagi Anda, wahai Indonesia?
Ya begitulah, kemajemukan semata, tanpa didasari ikatan keimanan, akan membuat bangsa ini terus bertengkar, tak ada akhirnya.
FAKTOR KEEMPAT. Faktor lain yang membuat bangsa ini susah maju, ialah perpecahan kronis yang terjadi di tubuh Ummat Islam sendiri. Mengapa kita bicara Ummat Islam? Sebab Ummat Islam adalah komponen terbesar bangsa ini, yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Berbicara tentang Indonesia dalam kacamata nasionalismean sich (murni), adalah nonsense belaka. Semua itu hanya omong kosong, tidak ada relevansinya. Mau tidak mau, suka tidak suka, kala bicara tentang Indonesia, kita harus bicara Ummat Islam. Sama saja, kalau bicara tentang Italia, harus menyinggung komunitas Katholik; bicara tentang Singapura, harus bicara etnis China; atau bicara tentang India, harus melihat posisi kaum  Hindu.
Sebenarnya, kalau Ummat Islam di Indonesia bisa diperbaiki keadaannya, hal itu akan sangat baik akibatnya bagi kemajuan Indonesia. Sebab yang mayoritas mengisi lini-lini kehidupan, baik politik, ekonomi, sosial, birokrasi, militer, dll. adalah Ummat Islam itu sendiri. Namun selama ini yang terjadi, Ummat Islam di Indonesia terpecah-belah dalam fraksi dan friksi yang sangat banyak. Padahal jika Ummat Islam memiliki pandangan, sikap, kepedulian, prioritas, serta agenda bersama; masya Allah, mayoritas urusan negeri ini bisa diperbaiki sebaik-baiknya.
Argumentasinya, komposisi Muslim Melayu di Malaysia sekitar 50-60 %. Namun karena mereka mampu menyatukan visi, pandangan, dan agenda bersama; mereka bisa maju. Padahal dari sisi jumlah penduduk, nilai kekayaan alam, luas wilayah, semangat kerja keras; kita lebih unggul dari Malaysia. Nah itulah, potensi terbatas jika rakyatnya bersatu, mereka bisa maju. Sebaliknya, meskipun potensi lur biasa, kalau rakyatnya (baca: Ummat Islam) susah bersatu, ya tak akan maju-maju.
Kemunduran bangsa Indonesia, sebenarnya juga merupakan kritik terbuka bagi Ummat Islam. Andai kita bisa bersatu, tentu kaum Muslimin akan bersatu; lalu bangsa Indonesia pun insya Allah akan semakin maju.
FAKTOR KELIMA. Faktor ini bisa dianggap memiliki koneksi kuat dengan faktor-faktor sebelumnya. Ia adalah KEPEMIMPINAN (leadership). Sejujurnya, bangsa Indonesia telah sekian lama mengalami krisis kepemimpinan. Sulit sekali lahir pemimpin-pemimpin unik yang bisa menjadi nahkoda terbaik, untuk memimpin kapal layar bangsa Indonesia melaju di lautan kehidupan.
Begitu sulitnya menanti pemimpin hebat itu, hingga selama ini masyarakat memimpikan sosok “Ratu Adil”. Ada juga yang menyebut istilah “Satrio Piningit” (sosok kesatria yang masih tersembunyi). Bahkan di kalangan Islam, sudah lama menantikan sosok Imam Mahdi. Semua ini merupakan letupan asa, cinta, dan obsesi akan hadirnya sosok pemimpin “Sapu Jagad” yang diberkahi dan dibantu oleh Allah untuk membereskan masalah-masalah bangsa ini.
Sosok pemimpin itu haruslah sehat fisik dan berpengetahuan luas, seperti sosok Thalut yang Allah datangkan untuk membereskan masalah Bani Israil. Ia juga elok, amanah, konsisten; seperti sosok Yusuf Alaihissalam, ketika Allah turunkan untuk membereskan masalah bangsa Mesir. Selain itu, ia adalah politisi ulung, konsisten dengan keadilan, ahli kemiliteran, memiliki jiwa kokoh, dan tidak gila dunia; seperti sosok Khalifah Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘Anhu.
Minimal, dalam konteks keindonesiaan dan kekontemporeran, kita membutuhkan karakter pemimpin yang: bersikap adil, pengasih kepada masyarakat kecil, ahli kemiliteran, politisi ulung, tidak gila dunia, dan berani mati demi membangun kemaslahatan. Namun adakah sosok pemimpin seperti itu? Wallahu a’lam bisshawaab.
Ya, kalau yang dinamakan pemimpin itu, cirinya sebagai berikut: Banyak omong di media. Plin plan. Suka kongkow di kafe-kafe, sambil merokok dan minum anggur putih. Gila jabatan, plus gila publikasi. Merasa ringan dengan menipu rakyat. Aktif berburu proyek-proyek negara. Sangat bahagia digaji besar, serta membangun style konsumsi elitik. Terus menuntut kenaikan gaji dan tunjangan. Kalau tersangkut kasus hukum, sering bicara “saya tidak tahu” atau “itu bukan tanggung-jawab saya”.Tidak risih bergaul dengan selebritis dan artis-artis. Dan lain-lain gambaran semodel itu. Maka yang semodel beginiini bukan tipe pemimpin, tetapi “sampah kehidupan”.
Jika ada pemimpin yang KUAT, KOKOH, SHALIH, dan KONSISTEN; niscaya kehidupan bangsa ini akan berubah. Dia akan memimpin bangsa ini menghadapi tantangan-tantangan berat, dari dalam maupun luar negeri. Hanya saja, dimana pemimpin itu berada, adakah dia, dan kapan munculnya? Hanya Allah Ta’ala yang tahu.
Pemimpin-pemimpin yang ada selama ini jauh dari karakter seperti itu, sejak era Soekarno, Soeharto, Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, hingga era SBY saat ini. Dengan model kepemimpinan demikian, sulit berharap bangsa Indonesia akan maju dan bermartabat.
Bagi para pemimpin atau calon pemimpin Indonesia, Anda harus memahami kenyataan-kenyataan berikut ini:
[1]. Posisi kepemimpinan itu sangat penting bagi ummat manusia, khususnya bagi bangsa Indonesia.
[2]. Bahwa praktik penjajahan bangsa-bangsa besar ke bangsa-bangsa kecil/lemah, tidak pernah lenyap, hanya berubah bentuk dan modus saja. Selama di dunia ada dikotomi negara besar vs negara kecil, selama itu praktik kolonialisme akan terus lestari.
[3]. Indonesia sangat komplek dengan segala ciri kemajemukannya. Setiap pemimpin harus pintar-pintar mengatur segala kemajemukan itu, dan jauhkan segala bentuk kezhaliman. Kalau tirani mayoritas bisa dianggap kezhaliman, bagaimana jika muncul tirani minoritas? Pintu-pintu perpecahan dan adu-domba harus ditutup rapat.
[4]. Harus diakui secara gentle dan rendah hati, bahwa mayoritas rakyat Indonesia adalah Muslim; secara hakiki, negeri ini adalah negeri Muslim. Maka membangun Indonesia dengan mengabaikan kaum Muslimin, adalah nonsense. Hal itu seperti membangun India dengan melupakan orang Hindu, atau membangun Malaysia dengan melupakan warga Melayu.
[5]. Seorang pemimpin harus sehat fisik, luas wawasan, berjiwa kuat, pemberani, bersikap adil (kepada rakyat dan keluarganya), ahli kemiliteran, bukan orang miskin yang mencari pekerjaan/kekayaan, serta memiliki kekuatan spiritual (IMAN) yang kokoh.
SOLUSI. Jika kita telah memahami masalah ini, perlu memikirkan solusi ke depan. Dalam konteks nasionalisme, gagasan Prabowo Subianto dan Gerindra layak dicermati. Tetapi, ia baru setahap gagasan yang belum terbukti di lapangan. Sering terjadi, nasionalisme itu ujung-ujungnya berbelok arah ke kutub Komunisme (seperti zaman Soekarno) atau ke kutub Kapitalisme (seperti zaman Soeharto); bahkan ke kutub Zionisme (seperti zaman Abdurrahman Wahid). Andaikan ada konsep nasionalisme yang konsisten, tetap saja bangsa kita harus menghadapi Imperialis Barat dan Yahudi yang sangat anti dengan kemandirian sebuah bangsa nasionalis.
Idealnya, Pemerintah Indonesia memberi hak-hak otonom ke daerah untuk melaksanakan hukum-hukum Syariat Islam di wilayah-wilayahmayoritas Muslim. Sedangkan di wilayah minoritas Muslim, persilakan mereka untuk berembuk menentukan hukum kolektif di wilayah itu. Pemberlakuan hukum-hukum Islam ini sangat efektif untuk menghadapi hegemoni Imperialis, kemajemukan kultural, dan penyakit korupsi. Kalau kemudian ada yang bersuara lantang menolak ide seperti itu, bisa jadi karena mereka tidak tahu, atau mereka orang suruhan para konglomerat yang sudah adem-ayem hidup makmur di atas segala penderitaan rakyat, atau mereka antek asing yang memang bekerja dalam ranah keantekan, atau mereka adalah siapa saja yang dalam hatinya tertanam kebencian kepada Islam.
Secara pribadi, maka solusi yang diminta ialah seperti sabda Nabi Shallallah ‘Alaihi Wasallam, “Qul amantu billahi, tsumma istaqimu” (Katakanlah, aku beriman kepada Allah, lalu istiqamahlah). Jalani ajaran Islam secara istiqamah, termasuk amalan-amalan yang dianggap ringan, sebab semua itu merupakan kunci eksistensikehidupan kita.
Read more ...

YUK! Donor Darah

Rabu, 18 Desember 2013
Sedikit fakta tentang darah, dengan harapan anda, saya atau siapapun dapat mengenal lebih tentang darah kita.

Satu kantung/labu darah yang kita sumbangkan, rata-rata bisa menyumbang untuk 3 kehidupan (tambahan: dan hanya awet selama 28 hari/ 4 minggu). Orang dewasa yang sehat minimal 17 tahun, dan setidaknya mempunyai berat 110 lbs (+/- 45 kg), dapat menyumbangkan sekitar satu labu setiap 56 hari, atau setiap dua bulan. Empat utama sel darah merah tipe: A, B, AB dan O. RH faktor bisa positif atau negatif. AB merupakan penerima universal; O negatif adalah universal donor sel darah merah.
Satu unit darah dapat dipisahkan menjadi beberapa komponen: sel darah merah, plasma, platelets dan cryoprecipitate. Sel darah merah membawa oksigen ke organ-organ tubuh dan jaringan. Sel darah merah tinggal sekitar 120 hari dalam sistem peredaran darah. Platelets mempromosikan darah dan memberi mereka yang leukemia dan kanker lainnya kesempatan untuk hidup. Plasma adalah kuning pucat campuran air, protein dan garam. Plasma, yang 90 persen air, membuat sampai 55 persen dari volume darah.
42 hari : lamanya sel darah merah dapat disimpan
5 hari : lamanya platelets dapat disimpan 
1 tahun : lamanya plasma beku dapat disimpan (ini masih menjadi perdebatan karena di Indonesia usia penyimpanan sel darah merah itu hanya 28 hari atau sekitar 4 minggu)
Anak-anak yang dirawat untuk kanker, bayi prematur dan anak-anak yang memerlukan operasi jantung dan darah platelets dari donor dengan berbagai jenis, khususnya jenis O. Pasien penderita kurang darah memerlukan transfusi darah untuk meningkatkan tingkat sel darah merah. Kanker, transplantasi dan trauma pasien, serta pasien yang menjalani operasi jantung terbuka memerlukan platelet transfusions untuk bertahan hidup.
Tes tigabelas (11 untuk penyakit menular) yang dilakukan pada setiap unit darah yang disumbangkan.
17 persen dari non-donor memberikan alasan “never thought about it” sebagai alasan utama untuk tidak menjadi donor, sedangkan 15 persen mengatakan mereka sudah terlalu sibuk. 1 alasan donor darah mereka berikan adalah karena mereka “ingin membantu orang lain.“ Jika semua memberi donor darah tiga kali dalam setahun, kekurangan darah akan menjadi peristiwa langka di dunia ini.
46,5 gallons: jumlah darah yang dapat disumbangkan jika anda mulai pada usia 17 dan donasi setiap 56 hari hingga mencapai 79 tahun. Empat langkah mudah untuk menyumbangkan darah: sejarah medis, tes fisik cepat, donor dan makanan ringan.
Donor darah biasanya hanya memakan waktu sekitar 10 menit (namun bisa memperpanjang nyawa yang membutuhkan, selama bertahun2 lagi). Seluruh proses – mulai dari waktu anda masuk ke waktu yang meninggalkan – berlangsung sekitar satu jam. Setelah menyumbangkan darah, tubuh anda mengganti cairan dalam 1 jam dan sel darah merah dalam waktu empat minggu. Delapan bulan yang diperlukan untuk mengembalikan zat besi hilang setelah sumbangan. Darah membuat sampai sekitar 7 persen dari berat badan Anda. Memberikan darah tidak akan menurunkan kekuatan. Anda mendapat cek kesehatan gratis pada saat anda menyumbangkan darah.

Read more ...

10 Fakta Tentang Kedudukan Lambang Palang Merah

Rabu, 18 Desember 2013



1. Lambang palang merah merupakan lambang pembeda yang penggunaannya dilindungi oleh Konvensi Jenewa 1949.

2. Sebagai lambang pembeda, maka Lambang palang merah berfungsi sebagai tanda pelindung, dimana penggunanya mendapatkan perlindungan untuk tidak boleh dijadikan sasaran pertempuran pada saat terjadi perang.



3. Selain sebagai tanda pelindung, lambang palang merah juga berfungsi sebagai tanda pengenal, dimana penggunanya menandakan bahwa yang bersangkutan adalah terkait dengan pihak-pihak yang dilindungi oleh Konvensi Jenewa 1949 yaitu kesatuan medis angkatan perang suatu Negara dan perhimpunan nasional suatu Negara. 


4. Perhimpunan nasional adalah perkumpulan sukarelawan yang dibentuk oleh Negara pihak Konvensi Jenewa 1949 sebagai organisasi kemanusiaan yang diproyeksikan membantu kesatuan medis angkatan perang negaranya. Untuk itu, lambang yang digunakan oleh perhimpunan nasional suatu Negara harus mengacu kepada lambang pembeda yang digunakan oleh kesatuan medis angkatan perang Negaranya. Jika suatu Negara menentukan lambang palang merah sebagai lambang pembeda bagi kesatuan medis angkatan perang Negaranya, maka perhimpunan nasional Negara tersebut juga harus menggunakan lambang palang merah sebagai lambangnya. 



5. Perhimpunan nasional yang menggunakan lambang palang merah juga harus menjadi satu-satunya perhimpunan nasional yang didirikan di Negara tersebut. Perhimpunan nasional tersebut juga merupakan anggota dari Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional. Oleh karenanya harus selalu memegang teguh Tujuh Prinsip Dasar Gerakan, yaitu Kemanusiaan, Kesamaan, Kenetralan, Kemandirian, Kesukarelaan, Kesatuan dan Kesemestaan. 



6. Perhimpunan nasional yang menggunakan lambang palang merah, harus memposisikan lambang palang merah sebagai lambang yang netral. Netral dalam bersikap dan netral dalam bekerja. Tidak mengidentifikasikan diri sebagai golongan, kelompok politik atau agama manapun. Juga tidak mendukung salah satu pihak atau aksi maupun pandangan dan pendapat dari suatu pihak dan sebaliknya tidak memusuhi aksi maupun pandangan dan pendapat dari pihak lainnya. 


7. Untuk menjamin kenetralan dan perlindungan diwaktu perang, maka lambang palang merah pun harus dilindungi penggunaannya diwaktu damai, agar tidak digunakan oleh pihak-pihak yang tidak berhak menggunakannya. Bentuk perlindungan Negara terhadap lambang palang merah adalah mengaturnya dalam suatu perundang-undangan nasional di Negara tersebut. 


8. Selain perlindungan terhadap lambang palang merah, undang-undang nasional Negara tesebut pun harus mengatur pula tentang perlindungan terhadap lambang pembeda lain, yaitu lambang bulan sabit merah. 



9. Negara yang menetapkan lambang palang merah untuk lambang pembeda bagi kesatuan medis angkatan perang negaranya dan perhimpunan nasional negaramya, tidak boleh mengijinkan penggunaan lambang palang merah atau pun lambang bulan sabit merah dengan tujuan apapun oleh pihak manapun di dalam negaranya, kecuali yang tersebut dalam Konvensi Jenewa 1949 1949.



10. Untuk itu, sama halnya seperti lambang pembeda lain yaitu lambang bulan sabit merah, maka pada lambang palang merah juga berlaku aturan ‘satu Negara - Satu Lambang - Satu Perhimpunan’.


Read more ...

Sahkan RUU Kepalangmerahan

Sabtu, 07 Desember 2013
Sesuai Konvensi Jenewa 1949 dan Statuta Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional, di satu negara hanya diperbolehkan menggunakan satu tanda khusus sebagai lambang yang digunakan oleh dinas medis militer dan perhimpunan nasional suatu negara (palang merah atau bulan sabit merah).Indonesia telah memilih tanda khusus palang merah untuk dinas medis TNI dan menunjuk Perhimpunan Palang Merah Indonesia sebagai perhimpunan nasional yaitu organisasi yang melakukan pekerjaan berdasarkan Konvensi Jenewa 1949.
Palang Merah Indonesia didirikan pada tanggal 17 September 1945. Palang Merah Indonesia merupakan satu-satunya perhimpunan palang merah nasional (National Society) yang memiliki legitimasi berdasarkan Statuta Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional. Sebagai perhimpunan nasional palang merah, Palang Merah Indonesia bertugas untuk membantu pemerintah (auxiliary function) dengan tetap menjaga kemandiriannya serta mematuhi semua peraturan yang berlaku di Indonesia.
Mengacu pada banyaknya penyalahgunaan lambang palang merah dan bulan sabit merah oleh berbagai pihak tanpa ada upaya apapun untuk penertibannya, baik dari pemerintah maupun dari PMI sendiri sebagai perhimpunan nasional kepalangmerahan yang telah ditunjuk oleh pemerintah, maka dirasa perlu untuk mendorong pengesahan RUU Kepalangmerahan oleh DPR RI.

1. Karena UU Kepalangmerahan adalah kewajiban Negara sebagai konsekuensi logis pihak konvensi Jeneva Tahun 1949. Sebagaimana dimaklumi, Konvensi Jenewa tahun 1949 telah diratifikasi oleh Negara Republik Indonesia dengan Undang-Undang  no 59 tahun 1958. Dan lebih dari 100 Negara pihak (dari 191 Negara) telah memiliki UU Kepalangmerahan.
2. PMI sebagai bagian dari Gerakan Palang Merah atau Bulan Sabit Merah Internasional wajib melakukan diseminasi Hukum Perikemanusiaan Internasional. PMI sebagai Perhimpunan Nasional yang ditunjuk Pemerintah berdasarkan Kepres No 25 tahun 1950 dan Kepres No 246 tahun 1963 mendukung Pemerintah untuk melaksanakan kewajibannya.

1. RUU Lambang Palang Merah / Kepalangmerahan diserahkan secara resmi kepada DPR RI pada 12 Oktober 2005 melalui surat Presiden Nomor R.79/Pres/10/2005.
2. Pembahasan 2006 – 2009 = Deadlock karena ada permintaan salah satu Fraksi agar menyertakan LSM Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI) ke dalam UU berstatus sejajar dengan PMI sebagai Perhimpunan Nasional.
Permintaan tersebut tidak dapat diakomodir Pemerintah karena :
a. Konvensi Jenewa hanya cantumkan “dinas medis + rohaniwan angkatan peran dan anggota gerakan” yang berhat gunakan lambang Palang Merah/Bulan Sabit Merah.
b. Statuta Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional hanya ijinkan 1 Negara untuk gunakan 1 lambang dan akui 1 Gerakan.
3. Dan pengesahan RUU akhirnya harus terhenti karena masa tugas anggota DPR Periode tersebut berakhir.
4. RUU Kepalangmerahan haru memulai babak baru di DPR Periode 2010-2015, dan sejak tahun 2012 telah disusun dan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Sampai sejauh ini perjalanan RUU Kepalangmerahan masih berada di Panitia Khusus RUU Kepalangmerahan.

Urgensi pengesahan RUU Kepalangmerahan
1. Undang-Undang Kepalangmerahan dengan fungsi-fungsi sebagaimana diterangkan diatas merupakan kebutuhan nasional baik pada situasi non-konflik ataupun pada situasi konflik. Undang-Undang Kepalangmerahan merupakan konsekuensi bagi Republik Indonesia yang telah meratifikasi Konvensi Jenewa 1949.
2. Undang-Undang Kepalangmerahan memberikan kepastian hukum bagi perhimpunan nasional baik pada tataran dalam negeri maupun dalam pergaulan internasional. Perlu disadari bahwa pengabaian hal ini dapat mengakibatkan terjadinya penyalahgunaan lambang untuk tujuan-tujuan lain seperti untuk kepentingan politik, komersial dan berbagai kepentingan lain yang seharusnya dapat dicegah dengan adanya undang-undang.
3. Perjalanan RUU Kepalangmerahan sampai detik ini tidak ada khabar yang menggembirakan (mungkin jalan ditempat), dan kedepan pada 2014 tentu DPR sudah disibukkan dengan kepentingannya seperti Revisi UU Pemilu, persiapan kampanye Parpol, pemilu ligislatif, pemilu Presiden dan berakhirnya masa bhakti DPR pada tahun 2015.
4. Dan akankah RUU Kepalangmerahan kembali tidak terselesaikan oleh DPR Periode ini? Akankah pelanggaran dan penyalahgunaan Lambang Palang Merah tetap dibiarkan? Akankah aturan-aturan internasional terus dilanggar? Akankah kepentingan Negara dikalahkan oleh kepentingan kelompok atau golongan atas jaminan perlindungan pengguna lambang palang merah?


Read more ...

Sejarah Lambang Kemanusiaan

Sabtu, 07 Desember 2013



Palang merah dan bulat sabit merah telah mengabdikan diri untuk melayani dalam rangka kemanusiaan lebih dari seabad yang lalu, memberikan perlindungan bagi siapa saja yang terkungkung dalam konflik dan bagi siapa saja yang menolong mereka. Pada bulan Desember 2005, sebuah lambang tambahan – kristal merah – telah terbentuk berdampingan dengan palang merah dan bulan sabit merah. Dokumen di bawah akan menjelaskan sejarah dari lambang-lambang tersebut.



1859
Pada awal abad ke 19, lambang digunakan untuk mengidentifikasi tentara yang bergerak di bidang medis dan berbeda-beda sesuai dengan negara mereka. Lambang-lambang tersebut tidak diketahui secara umum, dan sangat jarang dihargai dan tidak bernama untuk segala bentuk perlindungan yang sah.
Di dua setengah abad ke 19, pengembangan yang begitu pesat pada teknologi senjata api memimpin pertambahan angka kematian dan luka seiring perang secara dramatis.
Jean Henry Dunant (Swiss, 8 Mei 1828 - 30 Oktober 1910)
Bapak Palang Merah Dunia

Pada 24 Juni 1859, Perang Penggabungan Italia makin parah. Jean Henry Dunant, seorang warga negara Swiss, sedang dalam perjalanan menuju kota Solverino. Disana, dia menjadi saksi mata kesengsaraan lebih dari 45.000 tentara terlantar, mati atau terluka, di medan perang.
Kembali ke Jenewa, Henry Dunant mulai menulis sebuah buku yang menawarkan perkembangan drastis untuk memberikan pertolongan kepada korban perang.


1862
Pada tahun 1862, “A Memory of Solverino” diterbitkan. Buku tersebut mengemukakan dua usulan :
  1. Untuk menciptakan masa damai dan di setiap negara dibentuk kelompok sukarelawan untuk merawat korban pada masa perang
  2. Agar negara-negara menyetujui melindungi sukarelawan pertolongan pertama dan orang-orang yang terluka di medan perang.

Usulan yang pertama adalah asal-usul Lembaga Nasional yang sekarang dikenal di 183 negara; dan yang kedua adalah asal-usul dari Konvensi Jenewa sekarang yang ditandatangani 192 negara.

1863
Pada tanggal 17 Februari 1863, sebuah komite lima-anggota yang disebutLiga Palang Merah beranggotakan ; Amerika Serikat, Jepang, Perancis, Italia, dan Inggris, yang nantinya disebut International Committee of the Red Cross (ICRC), berembuk untuk mempelajari usulan Henry Dunant.


Salah satu objektivitas digunakan untuk mengambil sebuah lambang khusus dan disokong oleh hukum untuk mengindikasikan rasa hormat kepada tentara yang bergerak di bidang medis, para sukarelawan dengan lembaga pertolongan pertama dan korban dari konflik bersenjata.

Lambang tersebut harus sederhana, teridentifikasi dari jauh, dan diketahui setiap orang serta identik untuk teman bahkan lawan. Lambang tersebut harus sama untuk setiap orang dan dikenal secara universal
Pada tanggal 26 Oktober 1863, Konferensi Internasional pertama diadakan. Termasuk didalamnya delegasi dari 14 negara.
Sebagai penyimpulan dari 10 resolusi, yang menetapkan pendirian dari organisasi pertolongan untuk tentara yang terluka – di masa depan dikenal dengan Palang Merah, kemudian Lembaga Bulan Sabit Merah – juga diadopsi dari lambang palang merah dengan warna dasar putih sebagai keseragaman lambang yang jelas.


1864 
Pada bulan Agustus 1864, Konfrensi Diplomatik, melakukan rapat untuk keperluan perubahan resolusi yang diadopsi tahun 1863 sebagai aturan perjanjian, diadopsi dari Konvensi Jenewa Pertama.
Hukum perikemanusiaan internasional telah lahir
Konvensi Jenewa Pertama mengakui Palang Merah dengan latar putihsebagai sebuah lambang khusus.
Semenjak lambang merefleksikan kenetralan paramedis tentara dan perlindungan diberikan kepada mereka, lambang tersebut dibentuk denganmembalikkan warna bendera Swiss.

Negara Swiss secara permanen memiliki status netral untuk beberapa tahun, dan telah dikonfirmasikan oleh Treaties of Vienna dan Paris tahun 1815. Lebih lanjut bendera putih melambangkan pernegosiasian atau menyerah; melakukan tembakan kepada siapapun yang mengibarkan bendera ini sangat tidak dapat diterima.

Lambang tersebut juga menjadi sangat mudah untuk diproduksi dan dikenal karena memiliki warna yang kontras.

 1876-1878
Selagi perang antara Rusia dan Turki berlangsung, Kekhilafahan Islam Turki Utsmani (Ottoman) mendeklarasikan akan menggunakan Lambang Bulan Sabit Merah dengan latar belakang putih di tempat yang sama dengan Palang Merah. Tetapi, tetap menghargai Lambang Palang Merah, Kekhilafahan Islam Turki Utsmani (Ottoman) meyakini bahwa Palang Merah, secara alami, bertentangan dengan tentara Muslim. Lambang Bulan Sabit Merah akhirnya sementara itu diterima untuk digunakan pada konflik itu.

1929
Setelah Perang Dunia Pertama, Konferensi Diplomatik pada tahun 1929 dipanggil untuk meninjau kembali Konvensi Jenewa. Delegasi Turki, Persia dan Mesir meminta agar Bulan Sabit Merah dan Singa Matahari Merah diakui (Singa Matahari Merah digunakan oleh Persia atau Iran saat itu -red).
 Singa Matahari Merah, Lambang Kemanusiaan Persia (Iran) 1929


Setelah diskusi berkepanjangan, akhirnya lambang tersebut diterima dan diakui sebagai lambang khusus sebagai tambahan dari Palang Merah, namun untuk menghindari perkembangan lambang yang terlalu banyak, lambang-lambang tersebut hanya berhak digunakan terbatas pada tiga negara yang telah menggunakannya.


Lambang Kemanusiaan International pada 1929


Tiga lambang tersebut menikmati status setara dibawah naungan Konvensi Jenewa.
Sekarang, 151 Lembaga Nasional menggunakan Palang Merah dan 32 menggunakan Bulan Sabit Merah.

1949
Konferensi Diplomatik diadakan kembali pada tanggal 1949 untuk menata kembali Konvensi Jenewa akibat Perang Dunia Kedua melahirkan tiga proposal yang memerlukan solusi dan jawaban tentang lambang:
1. Permintaan Belanda untuk memiliki simbol tersendiri;
2. Permintaan agar hanya menggunakan simbol palang merah
3. Permintaan dari Israel untuk pengenalan lambang baru, Perisai Merah dari Bintang David yang digunakan sebagai lambang khusus bagi tentara medis Israel;

Lambang Kemanusiaan Negara Israel
(TIDAK DIAKUI oleh Komunitas International)
 
Ketiga proposal tersebut ditolak.


Konferensi mengekspresikan perlawanannya terhadap perkembangbiakan lambang perlindungan. Palang Merah, Bulan Sabit Merah dan Singa Matahari Merah tetap dinyatakan sebagai lambang yang diakui.

1980
Republik Islam Iran mendeklarasikan bahwa mereka melepaskan Lambang Singa Matahari Merah dan akan menggunakan Lambang Bulan Sabit Merahsebagai lambang khusus mereka. Bagaimanapun juga, Lambang Singa Matahari Merah tetap diakui.

1992
Debat tentang lambang terus berlanjut setelah ketetapan 1949. Sejumlah negara dan lembaga pertolongan mereka tetap menginginkan untuk menggunakan lambang nasional, atau kedua lambang palang dan bulan sabit bersamaan. Pada tahun 1990-an, terdapat pula kekhawatiran terhadap rasa hormat untuk kenetralan palang merah dan bulan sabit merah dalam konflik yang sangat sulit. Pada tahun 1992, pimpinan ICRC berbicara didepan umum tetang pembentukan lambang tambahan sama sekali tidak berkonotasi terhadap pihak nasional, politik, maupun keagamaan manapun.



1999
Konferensi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah tahun 1999 mengesahkan permintaan agar permintaan grup dari Negara dan Lembaga Nasional tentang lambang perlu dibentuk untuk menemukan solusi yang lebih luas dan dapat bertahan lama diterima untuk semua kelompok dalam istilah hakekat dan prosedur.

2000
Grup Kerja menyadari bahwa kebanyakan Negara dan Lembaga Nasional meletakkan emblem palang merah dan bulan sabit merah berdempetan. Demikianlah, cara yang hanya dapat digunakan untuk secara luas diterima untuk mengadopsi tiga emblem tambahan, tanpa sama sekali tidak berkonotasi terhadap pihak nasional, politik, maupun keagamaan manapun.
Desain lambang baru harus dibolehkan kepada Lembaga Negara yang menggunakannya dengan:
a. Menyelipkan logo palang atau bulan sabit
b. Menyelipkan logo palang dan bulan sabit bersisian atau bersebelahan
c. Menyelipkan lambang lain yang digunakan dan telah dikomunikasikan kepada negara yang dinaungi Konvensi Jenewa dan ICRC.

Lambang Kemanusiaan International tambahan baru (Kristal Merah)

2005
Pada bulan Desember 2005 selagi Konferensi Diplomatik di Jenewa, Negara-negara mengadopsi Protokol III kepada Konvensi Jenewa, membentuk sebuah lambang tambahan bersisian dengan lambang palang merah dan bulan sabit merah. Lambang baru tersebut – dikenal dengan nama kristal merah – memecahkan masalah tentang isu-isu tentang Pergerakan yang terselubung selama beberapa tahun, termasuk:
  1. Kemungkinan negara-negara yang enggan menggunakan palang merah dan bulan sabit merah untuk mengikuti Pergerakan sebagai anggota penuh dengan menggunakan kristal merah
  2. Kemungkinan penggunaan palang merah dan bulan sabit merah bersamaan.


2006
Juni 2006, Konferensi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah akan bertemu di Jenewa untuk memberikan amandemen kepada undang-undang kepada Pergerakan untuk mengikuti laporan pengolahan lambang yang baru.

Lembaga-lembaga Kemanusiaan International dan Nasional Indonesia : 

International Committee of the Red Cross (ICRC)

 IFRC









Analisa lambang :
Ada dua fungsi dari lambang kemanusiaan (dalam hal ini saat awalnya adalahPalang Merah) :
Pertama,
sebagai tanda pelindung,
yaitu untuk memberikan perlindungan berdasarkan Hukum Perikemanusiaan Internasional kepada orang dan objek dari divisi kesehatan angkatan bersenjata, Perhimpunan Nasional, Internatinal Committee of the Red Cross (ICRC), dan International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies (IFRC).

Kedua,
sebagai tanda pengenal,
yaitu untuk mengidentifikasi orang dan objek lain yang terkait dengan Gerakan Kemanusiaan ini. 

Melihat fungsi Lambang itu, jelas sekali bahwa lambang Palang Merah mempunyai efek yuridis yang tidak dapat dikesampingkan. Namun kemudian, dalam perkembangannya, sejak Konferensi Internasional I diselenggarakan pada 26 Oktober 1863, dengan diikuti delegasi dari 14 negara, dimana salah satu hasil resolusi Konferensi ketika itu menerima lambang palang merah dengan latar belakang putih sebagai lambang khusus, yang kemudian pada Agustus 1864 resolusi itu menjadi perjanjian internasional (Treaty), yang menjadi Hukum Perikemanusian Internasional yang pertama.

Sampai akhirnya selama perang Rusia kontra Turki pada tahun 1876-1878, Turki mendeklarasikan lambang bulan sabit merah dengan latar belakang putih sebagai pengganti lambang palang merah latar belakang putih. Saat itu, kedua lambang berbeda itu dapat diterima sebagai lambang kemanusiaan dalam konflik.

Pada tahun 1990-an, mencuat ke permukaan terkait kenetralan dari palang merah dan bulan sabit merah di beberapa daerah konflik yang pelik. Ketika itu, palang merah kerapkali diidentikkan sebagai simbol Kristen.
Sebaliknya, bulan sabit juga kerapkali diidentifikasikan sebagai simbol Islam.

Akhirnya, pada tahun 1999 Konferensi Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional membentuk Kelompok Kerja Gabungan dari Negara dan Perhimpunan Nasional mengenai lambang yang dapat diterima semua negara. Hasilnya, disepakati lambang tambahan ketiga yang tidak memiliki konotasi negara, politik atau agama apa pun. Baru pada Konferensi Diplomatik pada Desember 2005, diterima Protokol III tambahan untuk Konvensi Jenewa yang menciptakan lambang tambahan disamping lambang palang merah dan bulan sabit merah, yaitu kristal merah.

Dalam tulisan ini, ditujukan agar kita menelaah secara obyektif dan kritis di balik perdebatan lambang Gerakan di atas sampai-sampai menghabiskan waktu selama kurang lebih 15 tahun (1990-2005). Kemudian artikulasi apa sehingga Turki menggunakan bulan sabit merah sebagai lambang gerakan kemanusiaan mereka? Kenapa pula digunakan salib merah dengan panjang silang yang sama? Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya terkait aspek historis serta pemaknaan lambang-lambang tersebut.

Bulan Sabit atau Salib Pattee?
Opini publik telah menganggap bahwa bulan sabit (al-Hilaal) sebagai simbol Islam. Ia kerapkali dipertentangkan dengan lambang salib dalam Perang Salib (The Crusades). Bagi kaum Muslimin menghancurkan salib merupakan aksi simbolis untuk menunjukkan kekalahan Kristen dan kemenangan Islam. Saladin dipuji oleh Ibnu Jubayr dalam ode kemenangan dalam karyanya karena telah menghancurkan salib mereka dengan kekuatan militernya di Hittin.

Ibn Abi Thayyi menceritakan tentang salib yang direbut di Hittin, “Saladin membawa pulang sebuah salib sebagai rampasan perang, yang berupa sepotong kayu berlapis emas dan dihiasi dengan batu-batu berharga, yang menurut mereka telah menjadi tempat penyaliban mereka. Salib berlapis emas yang ada di Kubah Batu tidak diturunkan dengan perlahan.” Ibnu Saddad menjelaskan bahwa salib itu dilemparkan ke tanah meski ukurannya sangat besar.

Setelah merebut Yerusalem, Saladin mengirim lambang-lambang kemenangan besarnya kepada khalifah di Baghdad. Lambang kemenangannya yang paling berharga adalah salib yang dipasang di puncak Kubah Batu di Yerusalem, “Salib yang terbuat dari tembaga dan dilapisi dengan emas itu dikubur di bawah gerbang Nubain (di Baghdad) dan selanjutnya diinjak-injak.”[1] (Carole Hillenbrand, 2005, terj.)

Menariknya, dalam bukunya yang mendapatkan penghargaan King Faesal itu, Hillenbrand memberikan catatan dari hasil penelitiannya yang cukup mengejutkan, bahwa di dalam retorika kaum Muslim ini, yang dijadikan pesaing salib Kristen adalah Alqur’an atau menara. Bukan bulan sabit, seperti yang terjadi kemudian. Meskipun pada awal abad kesebelas, ketika katedral Armenia Ani di timur Anatolia diubah menjadi sebuah masjid, salib di puncak kubahnya diturunkan dan diganti dengan bulan sabit perak.[2]

Sudut pandang historis di atas, sepertinya mengilhami Buku The Complete Dictionary of Symbols untuk menyebut bulan sabit sebagai a symbol of Islamic expansion[3] (Jack Tresidder, 2005). Tampaknya Buku itu merujuk kepada fakta sejarah dimana Islamic Empire Turki Ustmani melakukan perluasan wilayahnya ke Eropa dengan membawa bendera berlambangkan bulan sabit merah.

Kendati pun demikian, The Complete Dictionary of Symbols menyebutkan bahwa bulan sabit bukanlah monopoli simbol Islam. Pada tahun 341 SM, di Byzantium mata uang koin dicetak dengan lambang bulan sabit dan bintang.[4] Selain itu, dalam budaya Hindu dan Celtic, bulan sabit sebagai lambang yang akan mengubah kepada keabadian. Di Mesir, bulan sabit dan cakram melambangkan kesatuan ketuhanan (divine unity). Sementara dalam dewi-dewi Yunani dan Romawi, mengenakan lambang bulan sabit pada rambut mereka sebagai simbol keperawanan dan kelahiran. Demikian pula pada Maria Sang Perawan yang menggunakan lambang bulan sabit sebagai simbol kesucian.

Meski penelusuran akar historis The Complete Dictionary of Symbols di atas menunjukkan bahwa lambang bulan sabit itu bukan monopoli Islam, tetap saja statemen awal penjelasannya adalah, “Crescent, the emblem of Islam, signifying divine authority, increase, ressurection and, with a star, paradise. Karena itu, menurut al-Mausu’ah al-’Arabiyyah al-’Alamiyyah, pada era sekarang ini, bulan sabit telah menjelma menjadi syi’aar (simbol) umat Islam. Lantas al-Mausu’ah menjelaskan landasan syar’i (aspek dalil) bulan sabit (al-hilaal) sebagai simbol Islam, yaitu dengan merujuk kepada akar kata al-Ahillah, yakni bentuk plural daril al-hilaal dalam Surat Al-Baqarah ayat 189. Dengan bulan sabit itu, sambung al-Mausu’ah, waktu-waktu haji, puasa, membayar zakat dan kafarat dan bentuk ibadah lainnya dapat ditentukan. Dan inilah kenapa ayat itu menyebut kata al-Ahillah.[5]

Tampak bahwa lambang bulan sabit, sebagaimana juga produk budaya lainnya, dalam pemaknaannya di kemudian hari mengalami penyempitan. Saat ini, mindset publik, baik kalangan Muslim maupun non-Muslim, menilai bahwa bulan sabit merupakan wujud Islam dalam persimbolan. Maka wajar saja jika dalam konteks lambang Gerakan di Indonesia ada mainstream agar bulan sabit dipergunakan sebagai lambang pengganti salib merah dengan panjang silang yang sama. Maka pada 8 Juni 2002 di Jakarta dideklarasikan Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI) yang diketuai dr. Basuki Supartono.

Sama dengan makna bulan sabit merah, netralitas simbol palang (salib) merah dengan panjang silang yang sama pun kerap dipertanyakan, bukannya hanya dalam konteks ke-Indonesiaan tapi konteks internasional. Sekadar bahan renungan bersama, The Complete Dictionary of Symbols menyebutkan bahwa salib (cross) merupakan lambang keimanan Kristen. Selain itu, salib juga simbol kosmos kuno dan universal. Artinya, seperti juga lambang bulan sabit, pada awalnya salib bukanlah monopoli simbol Kristen. Sekadar menyebut contoh, di China, salib di dalam segi empat melukiskan bumi dan stabilitas. Di India, salib pernah menjadi lambang Hindu yakni lambang tongkat api Dewa Agni.[6] Bahkan lebih tajam lagi, lambang salib merah dengan panjang silang yang sama yang sekarang dipakai lambang Gerakan di dunia internasional dan juga di Indonesia adalah lambang salibnya Ksatria Templar (Knights of Templar), yang menurut salah satu buku paling kontroversial pada abad 20 Holy Blood Holy Grail disebutkan, bahwa para Templar merupakan lambang dan perwujudan yang sempurna dari nilai-nilai agama Kristen.[7] Selain itu para Templar juga didefinisikan sebagai sosok pejuang yang memegang peranan terpenting dalam Perang Salib, dan lebih dari itu mereka dikenal sabagai Ksatria Kristus.[8] Terlepas dari kontroversi di kalangan internal teolog Kristen atas misteri yang menyelimuti Ksatria itu.

Patut diingat bahwa pada tahun 1146 M, kelompok Ksatria Templar (Ksatria Kristen) memakai gambar salib merah yang terkenal, yaitu salib dengan panjang silang yang sama (salib pattee). Dengan salib pattee yang digambarkan pada pakaian mereka, para ksatria ini menemani Raja Louis VII dari Prancis pada saat Perang Salib. Pada saat inilah mereka menetapkan karir mereka untuk semangat berperang dengan sifat membabi buta yang menggila, serta kesombongan yang membahayakan.[9]

Alhasil, harus diakui, adalah ahistoris jika mengatakan salib merah dengan panjang silang yang sama merupakan lambang Gerakan yang netral. Demikian pula, ahistoris jika mengatakan bulan sabit merah sebagai lambang Gerakan yang netral. Lantas harus bagaimana?

Dengan adanya Protokol III untuk Konvensi Jenewa, dimungkinkan penggunaan lambang palang merah dan bulan sabit merah secara bersamaan.

Melihat pada kondisi ke-Indonesiaan, maka seharusnya negara dan pemerintah, mengizinkan kepada para Pelaku Gerakan Kemanusiaan di Indonesia, untuk bebas menggunakan lambang yang lebih diyakininya, dan lebih menenangkan aspek spiritualitasnya. Bahwa boleh menggunakan lambang Bulan Sabit Merah (karena memang mayoritas masyarakat di Indonesia adalah Muslim), dan juga tetap menghargai bagi mereka yang menggunakan lambang Palang Merah sebagai lambang gerakan kemanusiaannya.

Akhirnya, tulisan di atas tidak dimaksudkan untuk memprovokasi pihak manapun. Namun untuk memberikan gambaran secara objektif, bahwa nilai-nilai agama yang menjiwai lambang dari gerakan kemanusiaan International, memiliki muara yang sama, yaitu mengaplikasi nilai-nilai universal tentang kemanusiaan dan saling tolong-menolpng sebagai sesama ummat manusia, tanpa memandang latar belakang dan status sosial yang melekat pada seseorang yang hendak ditolong.

Namun penggunaan lambang Bulan Sabit Merah, Palang Merah, atau Kristal Merah, untuk lebih memberikan ketenangan secara spiritual dalam nilai-nilai agama, bagi  para penolong pertama dalam menjalankan tugasnya, dan tetap berlaku netral pada semua korban yang ditolongnya.

Allahu a'lam bish showwab.

diambil dari berbagai sumber :
http://www.icrc.org/eng/who-we-are/history/overview-section-history-icrc.htm
http://pmrsmansa.blogspot.com/2008/02/sejarah-lambang.html
http://fisirach.blogspot.com/2009/07/sejarah-lambang-palang-merah-dan_5660.html
http://putrahermanto.wordpress.com/2009/10/09/sejarah-berdirinya-palang-merah-dan-bulan-sabit-merah-di-dunia-universalitas-lambang/
Read more ...