Sejarah Lambang Kemanusiaan

Sabtu, 07 Desember 2013



Palang merah dan bulat sabit merah telah mengabdikan diri untuk melayani dalam rangka kemanusiaan lebih dari seabad yang lalu, memberikan perlindungan bagi siapa saja yang terkungkung dalam konflik dan bagi siapa saja yang menolong mereka. Pada bulan Desember 2005, sebuah lambang tambahan – kristal merah – telah terbentuk berdampingan dengan palang merah dan bulan sabit merah. Dokumen di bawah akan menjelaskan sejarah dari lambang-lambang tersebut.



1859
Pada awal abad ke 19, lambang digunakan untuk mengidentifikasi tentara yang bergerak di bidang medis dan berbeda-beda sesuai dengan negara mereka. Lambang-lambang tersebut tidak diketahui secara umum, dan sangat jarang dihargai dan tidak bernama untuk segala bentuk perlindungan yang sah.
Di dua setengah abad ke 19, pengembangan yang begitu pesat pada teknologi senjata api memimpin pertambahan angka kematian dan luka seiring perang secara dramatis.
Jean Henry Dunant (Swiss, 8 Mei 1828 - 30 Oktober 1910)
Bapak Palang Merah Dunia

Pada 24 Juni 1859, Perang Penggabungan Italia makin parah. Jean Henry Dunant, seorang warga negara Swiss, sedang dalam perjalanan menuju kota Solverino. Disana, dia menjadi saksi mata kesengsaraan lebih dari 45.000 tentara terlantar, mati atau terluka, di medan perang.
Kembali ke Jenewa, Henry Dunant mulai menulis sebuah buku yang menawarkan perkembangan drastis untuk memberikan pertolongan kepada korban perang.


1862
Pada tahun 1862, “A Memory of Solverino” diterbitkan. Buku tersebut mengemukakan dua usulan :
  1. Untuk menciptakan masa damai dan di setiap negara dibentuk kelompok sukarelawan untuk merawat korban pada masa perang
  2. Agar negara-negara menyetujui melindungi sukarelawan pertolongan pertama dan orang-orang yang terluka di medan perang.

Usulan yang pertama adalah asal-usul Lembaga Nasional yang sekarang dikenal di 183 negara; dan yang kedua adalah asal-usul dari Konvensi Jenewa sekarang yang ditandatangani 192 negara.

1863
Pada tanggal 17 Februari 1863, sebuah komite lima-anggota yang disebutLiga Palang Merah beranggotakan ; Amerika Serikat, Jepang, Perancis, Italia, dan Inggris, yang nantinya disebut International Committee of the Red Cross (ICRC), berembuk untuk mempelajari usulan Henry Dunant.


Salah satu objektivitas digunakan untuk mengambil sebuah lambang khusus dan disokong oleh hukum untuk mengindikasikan rasa hormat kepada tentara yang bergerak di bidang medis, para sukarelawan dengan lembaga pertolongan pertama dan korban dari konflik bersenjata.

Lambang tersebut harus sederhana, teridentifikasi dari jauh, dan diketahui setiap orang serta identik untuk teman bahkan lawan. Lambang tersebut harus sama untuk setiap orang dan dikenal secara universal
Pada tanggal 26 Oktober 1863, Konferensi Internasional pertama diadakan. Termasuk didalamnya delegasi dari 14 negara.
Sebagai penyimpulan dari 10 resolusi, yang menetapkan pendirian dari organisasi pertolongan untuk tentara yang terluka – di masa depan dikenal dengan Palang Merah, kemudian Lembaga Bulan Sabit Merah – juga diadopsi dari lambang palang merah dengan warna dasar putih sebagai keseragaman lambang yang jelas.


1864 
Pada bulan Agustus 1864, Konfrensi Diplomatik, melakukan rapat untuk keperluan perubahan resolusi yang diadopsi tahun 1863 sebagai aturan perjanjian, diadopsi dari Konvensi Jenewa Pertama.
Hukum perikemanusiaan internasional telah lahir
Konvensi Jenewa Pertama mengakui Palang Merah dengan latar putihsebagai sebuah lambang khusus.
Semenjak lambang merefleksikan kenetralan paramedis tentara dan perlindungan diberikan kepada mereka, lambang tersebut dibentuk denganmembalikkan warna bendera Swiss.

Negara Swiss secara permanen memiliki status netral untuk beberapa tahun, dan telah dikonfirmasikan oleh Treaties of Vienna dan Paris tahun 1815. Lebih lanjut bendera putih melambangkan pernegosiasian atau menyerah; melakukan tembakan kepada siapapun yang mengibarkan bendera ini sangat tidak dapat diterima.

Lambang tersebut juga menjadi sangat mudah untuk diproduksi dan dikenal karena memiliki warna yang kontras.

 1876-1878
Selagi perang antara Rusia dan Turki berlangsung, Kekhilafahan Islam Turki Utsmani (Ottoman) mendeklarasikan akan menggunakan Lambang Bulan Sabit Merah dengan latar belakang putih di tempat yang sama dengan Palang Merah. Tetapi, tetap menghargai Lambang Palang Merah, Kekhilafahan Islam Turki Utsmani (Ottoman) meyakini bahwa Palang Merah, secara alami, bertentangan dengan tentara Muslim. Lambang Bulan Sabit Merah akhirnya sementara itu diterima untuk digunakan pada konflik itu.

1929
Setelah Perang Dunia Pertama, Konferensi Diplomatik pada tahun 1929 dipanggil untuk meninjau kembali Konvensi Jenewa. Delegasi Turki, Persia dan Mesir meminta agar Bulan Sabit Merah dan Singa Matahari Merah diakui (Singa Matahari Merah digunakan oleh Persia atau Iran saat itu -red).
 Singa Matahari Merah, Lambang Kemanusiaan Persia (Iran) 1929


Setelah diskusi berkepanjangan, akhirnya lambang tersebut diterima dan diakui sebagai lambang khusus sebagai tambahan dari Palang Merah, namun untuk menghindari perkembangan lambang yang terlalu banyak, lambang-lambang tersebut hanya berhak digunakan terbatas pada tiga negara yang telah menggunakannya.


Lambang Kemanusiaan International pada 1929


Tiga lambang tersebut menikmati status setara dibawah naungan Konvensi Jenewa.
Sekarang, 151 Lembaga Nasional menggunakan Palang Merah dan 32 menggunakan Bulan Sabit Merah.

1949
Konferensi Diplomatik diadakan kembali pada tanggal 1949 untuk menata kembali Konvensi Jenewa akibat Perang Dunia Kedua melahirkan tiga proposal yang memerlukan solusi dan jawaban tentang lambang:
1. Permintaan Belanda untuk memiliki simbol tersendiri;
2. Permintaan agar hanya menggunakan simbol palang merah
3. Permintaan dari Israel untuk pengenalan lambang baru, Perisai Merah dari Bintang David yang digunakan sebagai lambang khusus bagi tentara medis Israel;

Lambang Kemanusiaan Negara Israel
(TIDAK DIAKUI oleh Komunitas International)
 
Ketiga proposal tersebut ditolak.


Konferensi mengekspresikan perlawanannya terhadap perkembangbiakan lambang perlindungan. Palang Merah, Bulan Sabit Merah dan Singa Matahari Merah tetap dinyatakan sebagai lambang yang diakui.

1980
Republik Islam Iran mendeklarasikan bahwa mereka melepaskan Lambang Singa Matahari Merah dan akan menggunakan Lambang Bulan Sabit Merahsebagai lambang khusus mereka. Bagaimanapun juga, Lambang Singa Matahari Merah tetap diakui.

1992
Debat tentang lambang terus berlanjut setelah ketetapan 1949. Sejumlah negara dan lembaga pertolongan mereka tetap menginginkan untuk menggunakan lambang nasional, atau kedua lambang palang dan bulan sabit bersamaan. Pada tahun 1990-an, terdapat pula kekhawatiran terhadap rasa hormat untuk kenetralan palang merah dan bulan sabit merah dalam konflik yang sangat sulit. Pada tahun 1992, pimpinan ICRC berbicara didepan umum tetang pembentukan lambang tambahan sama sekali tidak berkonotasi terhadap pihak nasional, politik, maupun keagamaan manapun.



1999
Konferensi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah tahun 1999 mengesahkan permintaan agar permintaan grup dari Negara dan Lembaga Nasional tentang lambang perlu dibentuk untuk menemukan solusi yang lebih luas dan dapat bertahan lama diterima untuk semua kelompok dalam istilah hakekat dan prosedur.

2000
Grup Kerja menyadari bahwa kebanyakan Negara dan Lembaga Nasional meletakkan emblem palang merah dan bulan sabit merah berdempetan. Demikianlah, cara yang hanya dapat digunakan untuk secara luas diterima untuk mengadopsi tiga emblem tambahan, tanpa sama sekali tidak berkonotasi terhadap pihak nasional, politik, maupun keagamaan manapun.
Desain lambang baru harus dibolehkan kepada Lembaga Negara yang menggunakannya dengan:
a. Menyelipkan logo palang atau bulan sabit
b. Menyelipkan logo palang dan bulan sabit bersisian atau bersebelahan
c. Menyelipkan lambang lain yang digunakan dan telah dikomunikasikan kepada negara yang dinaungi Konvensi Jenewa dan ICRC.

Lambang Kemanusiaan International tambahan baru (Kristal Merah)

2005
Pada bulan Desember 2005 selagi Konferensi Diplomatik di Jenewa, Negara-negara mengadopsi Protokol III kepada Konvensi Jenewa, membentuk sebuah lambang tambahan bersisian dengan lambang palang merah dan bulan sabit merah. Lambang baru tersebut – dikenal dengan nama kristal merah – memecahkan masalah tentang isu-isu tentang Pergerakan yang terselubung selama beberapa tahun, termasuk:
  1. Kemungkinan negara-negara yang enggan menggunakan palang merah dan bulan sabit merah untuk mengikuti Pergerakan sebagai anggota penuh dengan menggunakan kristal merah
  2. Kemungkinan penggunaan palang merah dan bulan sabit merah bersamaan.


2006
Juni 2006, Konferensi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah akan bertemu di Jenewa untuk memberikan amandemen kepada undang-undang kepada Pergerakan untuk mengikuti laporan pengolahan lambang yang baru.

Lembaga-lembaga Kemanusiaan International dan Nasional Indonesia : 

International Committee of the Red Cross (ICRC)

 IFRC









Analisa lambang :
Ada dua fungsi dari lambang kemanusiaan (dalam hal ini saat awalnya adalahPalang Merah) :
Pertama,
sebagai tanda pelindung,
yaitu untuk memberikan perlindungan berdasarkan Hukum Perikemanusiaan Internasional kepada orang dan objek dari divisi kesehatan angkatan bersenjata, Perhimpunan Nasional, Internatinal Committee of the Red Cross (ICRC), dan International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies (IFRC).

Kedua,
sebagai tanda pengenal,
yaitu untuk mengidentifikasi orang dan objek lain yang terkait dengan Gerakan Kemanusiaan ini. 

Melihat fungsi Lambang itu, jelas sekali bahwa lambang Palang Merah mempunyai efek yuridis yang tidak dapat dikesampingkan. Namun kemudian, dalam perkembangannya, sejak Konferensi Internasional I diselenggarakan pada 26 Oktober 1863, dengan diikuti delegasi dari 14 negara, dimana salah satu hasil resolusi Konferensi ketika itu menerima lambang palang merah dengan latar belakang putih sebagai lambang khusus, yang kemudian pada Agustus 1864 resolusi itu menjadi perjanjian internasional (Treaty), yang menjadi Hukum Perikemanusian Internasional yang pertama.

Sampai akhirnya selama perang Rusia kontra Turki pada tahun 1876-1878, Turki mendeklarasikan lambang bulan sabit merah dengan latar belakang putih sebagai pengganti lambang palang merah latar belakang putih. Saat itu, kedua lambang berbeda itu dapat diterima sebagai lambang kemanusiaan dalam konflik.

Pada tahun 1990-an, mencuat ke permukaan terkait kenetralan dari palang merah dan bulan sabit merah di beberapa daerah konflik yang pelik. Ketika itu, palang merah kerapkali diidentikkan sebagai simbol Kristen.
Sebaliknya, bulan sabit juga kerapkali diidentifikasikan sebagai simbol Islam.

Akhirnya, pada tahun 1999 Konferensi Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional membentuk Kelompok Kerja Gabungan dari Negara dan Perhimpunan Nasional mengenai lambang yang dapat diterima semua negara. Hasilnya, disepakati lambang tambahan ketiga yang tidak memiliki konotasi negara, politik atau agama apa pun. Baru pada Konferensi Diplomatik pada Desember 2005, diterima Protokol III tambahan untuk Konvensi Jenewa yang menciptakan lambang tambahan disamping lambang palang merah dan bulan sabit merah, yaitu kristal merah.

Dalam tulisan ini, ditujukan agar kita menelaah secara obyektif dan kritis di balik perdebatan lambang Gerakan di atas sampai-sampai menghabiskan waktu selama kurang lebih 15 tahun (1990-2005). Kemudian artikulasi apa sehingga Turki menggunakan bulan sabit merah sebagai lambang gerakan kemanusiaan mereka? Kenapa pula digunakan salib merah dengan panjang silang yang sama? Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya terkait aspek historis serta pemaknaan lambang-lambang tersebut.

Bulan Sabit atau Salib Pattee?
Opini publik telah menganggap bahwa bulan sabit (al-Hilaal) sebagai simbol Islam. Ia kerapkali dipertentangkan dengan lambang salib dalam Perang Salib (The Crusades). Bagi kaum Muslimin menghancurkan salib merupakan aksi simbolis untuk menunjukkan kekalahan Kristen dan kemenangan Islam. Saladin dipuji oleh Ibnu Jubayr dalam ode kemenangan dalam karyanya karena telah menghancurkan salib mereka dengan kekuatan militernya di Hittin.

Ibn Abi Thayyi menceritakan tentang salib yang direbut di Hittin, “Saladin membawa pulang sebuah salib sebagai rampasan perang, yang berupa sepotong kayu berlapis emas dan dihiasi dengan batu-batu berharga, yang menurut mereka telah menjadi tempat penyaliban mereka. Salib berlapis emas yang ada di Kubah Batu tidak diturunkan dengan perlahan.” Ibnu Saddad menjelaskan bahwa salib itu dilemparkan ke tanah meski ukurannya sangat besar.

Setelah merebut Yerusalem, Saladin mengirim lambang-lambang kemenangan besarnya kepada khalifah di Baghdad. Lambang kemenangannya yang paling berharga adalah salib yang dipasang di puncak Kubah Batu di Yerusalem, “Salib yang terbuat dari tembaga dan dilapisi dengan emas itu dikubur di bawah gerbang Nubain (di Baghdad) dan selanjutnya diinjak-injak.”[1] (Carole Hillenbrand, 2005, terj.)

Menariknya, dalam bukunya yang mendapatkan penghargaan King Faesal itu, Hillenbrand memberikan catatan dari hasil penelitiannya yang cukup mengejutkan, bahwa di dalam retorika kaum Muslim ini, yang dijadikan pesaing salib Kristen adalah Alqur’an atau menara. Bukan bulan sabit, seperti yang terjadi kemudian. Meskipun pada awal abad kesebelas, ketika katedral Armenia Ani di timur Anatolia diubah menjadi sebuah masjid, salib di puncak kubahnya diturunkan dan diganti dengan bulan sabit perak.[2]

Sudut pandang historis di atas, sepertinya mengilhami Buku The Complete Dictionary of Symbols untuk menyebut bulan sabit sebagai a symbol of Islamic expansion[3] (Jack Tresidder, 2005). Tampaknya Buku itu merujuk kepada fakta sejarah dimana Islamic Empire Turki Ustmani melakukan perluasan wilayahnya ke Eropa dengan membawa bendera berlambangkan bulan sabit merah.

Kendati pun demikian, The Complete Dictionary of Symbols menyebutkan bahwa bulan sabit bukanlah monopoli simbol Islam. Pada tahun 341 SM, di Byzantium mata uang koin dicetak dengan lambang bulan sabit dan bintang.[4] Selain itu, dalam budaya Hindu dan Celtic, bulan sabit sebagai lambang yang akan mengubah kepada keabadian. Di Mesir, bulan sabit dan cakram melambangkan kesatuan ketuhanan (divine unity). Sementara dalam dewi-dewi Yunani dan Romawi, mengenakan lambang bulan sabit pada rambut mereka sebagai simbol keperawanan dan kelahiran. Demikian pula pada Maria Sang Perawan yang menggunakan lambang bulan sabit sebagai simbol kesucian.

Meski penelusuran akar historis The Complete Dictionary of Symbols di atas menunjukkan bahwa lambang bulan sabit itu bukan monopoli Islam, tetap saja statemen awal penjelasannya adalah, “Crescent, the emblem of Islam, signifying divine authority, increase, ressurection and, with a star, paradise. Karena itu, menurut al-Mausu’ah al-’Arabiyyah al-’Alamiyyah, pada era sekarang ini, bulan sabit telah menjelma menjadi syi’aar (simbol) umat Islam. Lantas al-Mausu’ah menjelaskan landasan syar’i (aspek dalil) bulan sabit (al-hilaal) sebagai simbol Islam, yaitu dengan merujuk kepada akar kata al-Ahillah, yakni bentuk plural daril al-hilaal dalam Surat Al-Baqarah ayat 189. Dengan bulan sabit itu, sambung al-Mausu’ah, waktu-waktu haji, puasa, membayar zakat dan kafarat dan bentuk ibadah lainnya dapat ditentukan. Dan inilah kenapa ayat itu menyebut kata al-Ahillah.[5]

Tampak bahwa lambang bulan sabit, sebagaimana juga produk budaya lainnya, dalam pemaknaannya di kemudian hari mengalami penyempitan. Saat ini, mindset publik, baik kalangan Muslim maupun non-Muslim, menilai bahwa bulan sabit merupakan wujud Islam dalam persimbolan. Maka wajar saja jika dalam konteks lambang Gerakan di Indonesia ada mainstream agar bulan sabit dipergunakan sebagai lambang pengganti salib merah dengan panjang silang yang sama. Maka pada 8 Juni 2002 di Jakarta dideklarasikan Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI) yang diketuai dr. Basuki Supartono.

Sama dengan makna bulan sabit merah, netralitas simbol palang (salib) merah dengan panjang silang yang sama pun kerap dipertanyakan, bukannya hanya dalam konteks ke-Indonesiaan tapi konteks internasional. Sekadar bahan renungan bersama, The Complete Dictionary of Symbols menyebutkan bahwa salib (cross) merupakan lambang keimanan Kristen. Selain itu, salib juga simbol kosmos kuno dan universal. Artinya, seperti juga lambang bulan sabit, pada awalnya salib bukanlah monopoli simbol Kristen. Sekadar menyebut contoh, di China, salib di dalam segi empat melukiskan bumi dan stabilitas. Di India, salib pernah menjadi lambang Hindu yakni lambang tongkat api Dewa Agni.[6] Bahkan lebih tajam lagi, lambang salib merah dengan panjang silang yang sama yang sekarang dipakai lambang Gerakan di dunia internasional dan juga di Indonesia adalah lambang salibnya Ksatria Templar (Knights of Templar), yang menurut salah satu buku paling kontroversial pada abad 20 Holy Blood Holy Grail disebutkan, bahwa para Templar merupakan lambang dan perwujudan yang sempurna dari nilai-nilai agama Kristen.[7] Selain itu para Templar juga didefinisikan sebagai sosok pejuang yang memegang peranan terpenting dalam Perang Salib, dan lebih dari itu mereka dikenal sabagai Ksatria Kristus.[8] Terlepas dari kontroversi di kalangan internal teolog Kristen atas misteri yang menyelimuti Ksatria itu.

Patut diingat bahwa pada tahun 1146 M, kelompok Ksatria Templar (Ksatria Kristen) memakai gambar salib merah yang terkenal, yaitu salib dengan panjang silang yang sama (salib pattee). Dengan salib pattee yang digambarkan pada pakaian mereka, para ksatria ini menemani Raja Louis VII dari Prancis pada saat Perang Salib. Pada saat inilah mereka menetapkan karir mereka untuk semangat berperang dengan sifat membabi buta yang menggila, serta kesombongan yang membahayakan.[9]

Alhasil, harus diakui, adalah ahistoris jika mengatakan salib merah dengan panjang silang yang sama merupakan lambang Gerakan yang netral. Demikian pula, ahistoris jika mengatakan bulan sabit merah sebagai lambang Gerakan yang netral. Lantas harus bagaimana?

Dengan adanya Protokol III untuk Konvensi Jenewa, dimungkinkan penggunaan lambang palang merah dan bulan sabit merah secara bersamaan.

Melihat pada kondisi ke-Indonesiaan, maka seharusnya negara dan pemerintah, mengizinkan kepada para Pelaku Gerakan Kemanusiaan di Indonesia, untuk bebas menggunakan lambang yang lebih diyakininya, dan lebih menenangkan aspek spiritualitasnya. Bahwa boleh menggunakan lambang Bulan Sabit Merah (karena memang mayoritas masyarakat di Indonesia adalah Muslim), dan juga tetap menghargai bagi mereka yang menggunakan lambang Palang Merah sebagai lambang gerakan kemanusiaannya.

Akhirnya, tulisan di atas tidak dimaksudkan untuk memprovokasi pihak manapun. Namun untuk memberikan gambaran secara objektif, bahwa nilai-nilai agama yang menjiwai lambang dari gerakan kemanusiaan International, memiliki muara yang sama, yaitu mengaplikasi nilai-nilai universal tentang kemanusiaan dan saling tolong-menolpng sebagai sesama ummat manusia, tanpa memandang latar belakang dan status sosial yang melekat pada seseorang yang hendak ditolong.

Namun penggunaan lambang Bulan Sabit Merah, Palang Merah, atau Kristal Merah, untuk lebih memberikan ketenangan secara spiritual dalam nilai-nilai agama, bagi  para penolong pertama dalam menjalankan tugasnya, dan tetap berlaku netral pada semua korban yang ditolongnya.

Allahu a'lam bish showwab.

diambil dari berbagai sumber :
http://www.icrc.org/eng/who-we-are/history/overview-section-history-icrc.htm
http://pmrsmansa.blogspot.com/2008/02/sejarah-lambang.html
http://fisirach.blogspot.com/2009/07/sejarah-lambang-palang-merah-dan_5660.html
http://putrahermanto.wordpress.com/2009/10/09/sejarah-berdirinya-palang-merah-dan-bulan-sabit-merah-di-dunia-universalitas-lambang/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar